SEBAGAI SASARAN STRATEGIS DALAM PEMBANGUNAN
DI INDONESIA*)
Julissar An-Naf
Kemiskinan di Indonesia meliputi kemiskinan yang bersifat relatif (Relative Poverty) dan yang bersifat absolut (Absolute Poverty). Kemiskinan Absolut diindikasikan dengan suatu tingkat kemiskinan yang di bawah itu kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat dipenuhi. Sedangkan Kemiskinan Relatif adalah suatu tingkat kemiskinan dalam hubungannya dengan suatu rasio Garis Kemiskinan Absolut atau proporsi distribusi pendapatan (kesejahteraan) yang timpang (tidak merata).
Faktor-faktor penyebab kemiskinan, disamping faktor-faktor kondisi alam dan geografis, juga disebabkan oleh faktor-faktor ketidakadilan ekonomi, sosial ataupun politik yang mengakibatkan apa yang disebut Kemiskinan Struktural (Struktural Poverty) baik pada tatanan negara ataupun internasional. Kemiskinan Struktural dapat dijelaskan dengan fenomena-fenomena urban bias, rural-urban dualism, proletarianization serta yang terakhir dapat dijelaskan pula oleh fenomena environmental destruction. Kemiskinan tersebar pula dengan pola yang terstruktur mulai dari remote area, rural area, sub-urban area, dan urban slum.
Kedua bentuk Kemiskinan Absolut dan Kemiskinan Relatif perlu penanganan yang spesifik dalam proses pengetasannya. Pengentasan Kemiskinan Absolut ditempuh dengan penedekatan-pendekatan yang bersifat rehabilitasi sosial (social rehabilitation; emergency; cash programme) dan pemberdayaan ekonomi (economic empowerment). Sedangkan pengentasan Kemiskinan Relatif ditempuh dengan usaha-usaha memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat (income distribution).
Upaya-upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia masih berfokus pada pengentasan Kemiskinan Absolut, misalnya Program Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan (Gerdu Taskin) dan Jaringan Pengaman Sosial (JPS). Dalam prakteknya pendekatan rehabilitasi dan pemberdayaan yang terakhir di atas banyak menghadapi kendala, baik kendala pendanaan, teknis maupun non-teknis.
DEFINISI KEMISKINAN
Arti kemiskinan manusia secara umum adalah “kurangnya kemampuan esensial manusia terutama dalam hal “ke-melek-huruf-an” (kemampuan membaca;literacy) serta tingkat kesehatan dan gizi”. Selain itu diartikan pula sebagai kurangnya pendapatan sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi minimum. Definisi atau pengertian kemiskinan perlu pula dibedakan antara Kemiskinan Absolut (Absolute Poverty) dan Kemiskinan Relatif (Relative Poverty). Kemiskinan Absolut diindikasikan dengan suatu tingkat kemiskinan yang di bawah itu kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat dipenuhi. Sedangkan Kemiskinan Relatif adalah suatu tingkat kemiskinan dalam hubungannya dengan suatu rasio Garis Kemiskinan Absolut atau proporsi distribusi pendapatan (kesejahteraan) yang timpang (tidak merata) (ADB, 1999: 26).
Kemiskinan Absolut.
Sayogyo di dalam Sumardi & Evers (199.: 21) misalnya, memberi batasan, seseorang disebut miskin bila pendapatannya setara atau kurang dari 320 kg beras per tahun per orang untuk di pedesaan dan 480 kg beras per tahun per orang untuk di perkotaan. Papanek (Ibid) menggunakan ukuran kalori. Kalori yang dibutuhkan seseorang untuk hidup per hari adalah 1.821 kalori atau setara dengan sekitar 0,88 kg beras bila dikaitkan dengan dengan ukuran yang digunakan Sayogyo. Apa yang dikemukakan di atas baru merupakan kebutuhan makanan, belum termasuk kebutuhan lain-lain seperti sandang, pemukiman, pendidikan, dan lain-lain. Cara yang lebih akurat untuk menetapkan garis kemiskinan adalah dengan menghitung Kebutuhan Hidup Minimal (KHM) tiap rumah tangga. Kebutuhan hidup dalam hal ini adalah kebutuhan pokok (basic needs) yang meliputi makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan partisipasi masyarakat. Ukuran ini akan berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lainnya serta sesuai jenis-jenis kebutuhan pokoknya (Sumardi & Evers: VI, 22).
Versi lain dalam mendefinisikan Kemiskinan Absolute adalah: “tingkat pendapatan minimum yang cukup untuk memenuhi Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) terhadap makanan, pakaian dan perumahan untuk menjamin kelangsungan hidup”. Angka KFM ini berbeda-beda dari satu negara ke negara lainnya, bahkan dari satu daerah ke daerah lainnya serta bisa berubah-ubah dari waktu ke waktu. PBB pernah menentapkan “Garis Kemiskinan Internasional” sebesar US $ 125,- per orang per tahun atas dasar harga konstan tahun 1980. Itu berarti seseorang yang konsumsinya kurang dari US $ 125,- per tahun dapat digolongkan berada di bawah Garis Kemiskinan atau berada dalam Kemiskinan Absolut (Todaro, 1995: 31-32).
Kemiskinan Relatif.
Secara sederhana Kemiskinan Relatif dapat dilihat dengan memperbandingkan proporsi atau persentase penduduk yang berada pada dan di bawah Garis Kemiskinan Absolut dengan jumlah penduduk keseluruhan. Untuk lebih memperoleh gambaran yang sesungguhnya tentang tingkat kemiskinan relatif atau pemerataan kesejahteraan ekonomi perlu diketahui distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan sering diukur dengan membagi penduduk menjadi 5 atau 10 kelompok (quintiles atau deciles) sesuai dengan tingkat pendapatannya. Kemudian menetapkan proporsi yang diterima oleh masing-masing kelompok pendapatan. Selanjutnya ukuran distribusi pendapatan dapat diukur dengan “Rasio Konsentrasi Gini” (Gini Consentration Ratio) atau lebih sederhana disebut dengan Koefisien Gini. Koefisien Gini adalah ukuran ketidakseimbangan/ ketimpangan (pendapatan, kesejahteraan) agregat (keseluruhan) yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna). Dalam prakteknya, Koefisien Gini pada negara-negara yang dikenal begitu tajam ketimpangan kesejahteraan di kalangan penduduknya berkisar antara 0,50 hingga 0,70. Sedangkan untuk negara-negara yang distribusi pendapatannya dikenal paling merata, Koefisien Gini berkisar antara 0,20 sampai 0,35 (Todaro, 1995: 150-151).
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEMISKINAN1
Menganalisa faktor-faktor penyebab kemiskinan adalah sesuatu yang komplek. Mulai dari faktor sumberdaya manusianya, kondisi alam dan geografis, kondisi sosial-budaya, sampai kepada sistem ekonomi dan politik yang menyebabkan timpang atau tidak meratanya distribusi pendapatan. Kerapkali faktor-faktor tersebut saling berinteraksi dan tumpang tindih satu sama lain. Faktor-faktor rendahnya mutu sumberdaya manusia, kondisi alam dan geografis, serta kondisi sosial-budaya berkaitan dengan tingkat keterbelakangan (underdevelopment) suatu masyarakat yang pada dasarnya dapat diperbaiki. Namun ada pula faktor kondisi alam dan geografis yang tidak dapat lagi tertanggulangi sehingga menyebabkan Kemiskinan Absolut yang menetap sifatnya. Tapi banyak ahli yang lebih meyakini bahwa faktor dominan penyebab kemiskinan adalah ketidakadilan ekonomi, sosial ataupun politik yang mengakibatkan apa yang disebut Kemiskinan Struktural (Struktural Poverty), baik pada tatanan negara maupun internasional. Fenomena Kemiskinan Struktural ini dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
Bias Kota (Urban Bias).
Pada banyak negara sedang berkembang (developing countries) dianut faham modernisasi dalam pembangunannya. Salah satu kelemahan dalam faham modernisasi adalah tidak dapat dihindarkannya perencanaan pembangunan yang terpusat (centralized planning). Kerapkali para perencana pembangunan berfikir sebagai “orang kota” yang merencanakan keharusan-keharusan bagi masyarakat pedesaan secara “top down approach” yang tidak sesuai dengan hajat hidupnya. Akibatnya struktur sosial masyarakat di pedesaan mengalami desintegration dan differensiation ibarat tercabut dari akarnya. Dalam kondisi yang demikian, bila diamati secara cermat, banyak unit-unit keluarga ataupun individu yang secara sosial dan ekonomi tidak dapat survive dan jatuh ke jurang kemelaratan.
Dualisme Desa-Kota (Rural-Urban Dualism)
Juga dalam paradigma modernisasi, sadar atau tidak sadar diciptakan pembagian peran (division of role) antara desa dan kota. Desa diposisikan sebagai daerah pertanian, tempat memproduksi bahan baku, dan pemasok tenaga kerja kasar (murah). Sementara kota mempunyai posisi sebagai daerah industri, perdagangan, pusat pemerintahan, dan sumber tenaga kerja terampil. Dengan pembagian posisi yang demikian, secara struktural tercipta kondisi di mana masyarakat pedesaan secara relatif lebih miskin dari pada masyarakat perkotaan. Dalam kemiskinan relatifnya, warga pedesaan seringkali terjerumus ke jurang kemiskinan absolut.
Proletarianisasi (Proletarianization).
Proletarianisasi adalah suatu proses di mana Petani Pemilik yang mandiri (self-reliant) secara berangsur-angsur mengalami degradasi menjadi Petani Kecil (Small Farmer), Petani Tak Berlahan/Buruh Tani (Landless Farmer/Farm Labourer), dan mungkin selanjutnya atau generasi berikutnya menjadi Buruh Industri yang sangat tidak mandiri. Manakala industri tidak mampu memberikan pekerjaan, tiba saatnya para Buuruh Industri tersebut terjebak dalam jurang kemiskinan. Proses ini terjadi karena perubahan struktur sosial dan ekonomi di pedesaan sebagai dampak negatif dari modernisasi. Persaingan yang tidak sehat antara Petani Besar/Kaya (Landlord) di satu pihak dengan Petani Kecil dan Buruh Tani (Peasant) dilain pihal, di mana program-program pemerintah dan proses modernisasi itu sendiri lebih memfasilitasi Petani Kaya, menyebabkan pertanian skala kecil menjadi tidak ekonomis dan mengalami kebangkrutan. Sebaliknya Petani Besar/Kaya justru tumbuh semakin besar dan kaya pertanian kapitalis (Capitalist Farming). Proses transformasi ini dalam prakteknya tidak lepas dari ekspansi ekonomi pemilik-pemilik modal (kaum Bourgeaucy) dari kota ke desa.
Marjinalisasi (Marginalization).
Proletarianisasi itu sendiri sesungguhnya suatu bentuk proses marjinalisasi di pedesaan. Di perkotaan, marjinalisasi terjadi antara Sektor Formal yang memarjinalkan Sektor Informal, konglomerasi yang memarjinalkan perdagangan-perdagangan kecil/eceran, termasuk aktivitas-aktivitas yang berfaham modernisasi memarjinalkan aktivitas-aktivitas tradisional. Ujungnya adalah kebangkrutan dari mereka yang termarjinalkan. Pedagang Kaki Lima yang setiap saat bisa “ditertibkan”, tukang becak yang setiap saat becaknya bisa “diamankan”, dan banyak lagi contohnya adalah produk dari proses marjinalisasi.
Perusakan Lingkungan (Environmental Destruction).
Perusakan lingkungan dikarenakan penyelenggaraan pembangunan yang tidak berkelanjutan (unsustainable development) dan tidak ramah lingkungan (environmentally unfriendly) juga berakhir pada proses pemiskinan (povertization). Dalam kasus ini antara lain erosi lahan (soil erosion) karena penggunaannya yang melewati daya dukungnya. Erosi tersebut bisa sampai pada tingkat desertization (menjadi padang pasir) sehingga lahan tidak dapat lagi ditanami dan hilang produktivitasnya, sampai pada keadaan di mana penghuninya mengalami kelaparan (famine). Kasus lain adalah penggundulan hutan (deforestration) yang berakibat pada rusaknya ekosistem (ecosystem) yang berarti juga hilangnya sumber penghidupan dari masyarakat yang hidupnya bergantung pada keberadaan ekosistem tersebut. Penggundulan hutan juga berakibat pada erosi, desertization, dan bajir yang memperberat beban kehidupan masyarakat miskin. Di perkotaan dan pusat-pusat industri terjadi pencemaran (polution) lingkungan, air, udara dan lagi-lagi yang menjadi korban adalah masyarakat miskin perkotaan yang mendiami daerah-daerah kumuh berupa gangguan kesehatan dan tingginya tingkat kematian (mortality rate). Perusakan lingkungan ini pada akhirnya bermuara pada pemiskinan.
PENYEBARAN KANTONG-KANTONG KEMISKINAN1
Merupakan suatu fenomena yang umum dijumpai bahwa semakin jauh suatu tempat dari Titik Pertumbuhan (Growth Centre) akan semakin tingkat kemiskinan penghuninya. Ibarat sebuah gunung, kalau puncaknya adalah titik pertumbuhan, maka tingkat kemiskinan pada kaki gunung akan lebih tinggi dibandingkan dengan pada lerengnya. Titik Pertumbuhan itu sendiri biasanya berlokasi di perkotaan yang merupakan pusat administrasi pemerintahan, pusat perdagangan, serta pusat dari berbagai fasilitas sosial dan ekonomi. Penyebaran kantong kemiskinan bisa diklasifikasi secara umum menjadi; Daerah Terpencil (Remote Area), Daerah Pedesaan (Rural Area), Daerah Pinggiran Kota (Sub-urban Area) dan Daerah Kumuh Perkotaan (Urban Slum).
Daerah Terpencil (Remote Area).
Daerah yang jauh dari Titik Pertumbuhan yang hampir tidak/belum tersentuh oleh pembangunan. Sebab-sebab mengapa belum tersentuh oleh pembangunan bisa karena letak geografis yang menyulitkan, atau karena belum ditemui potensi ekonomi yang bisa dikembangkan sehingga kurang menarik bagi investasi. Contohnya yang akstrim misalnya Lembah Baliem di Irian Jaya atau Kepulauan Mentawai di Sumatera.
Daerah Pedesaan (Rural Area).
Secara relatif daerah pedesaan lebih miskin dari daerah perkotaan. Lebih spesifik lagi, yang dimaksud dengan daerah perkotaan di sini adalah daerah yang basis perekonomiannya dari Sektor Pertanian. Hampir pasti kemiskinan dapat dijumpai pada kalangan Petani Berlahan Sempit (Small Farmer), Pekerja Tani atau Petani Tak Berlahan (Landless Farmer), dan sejumlah Pedagang-pedagang Kecil di pedesaan. Dalam klasifikasi ini termasuk daerah pantai (coastal area) dengan Nelayan Kecil dan Pekerja Nelayan-nya.
Daerah Pinggiran Kota (Sub-urban Area).
Daerah pinggiran kota mempunyai posisi yang unik. Biasanya basis perekonomiannya merupakan campuran antara pertanian berskala kecil, industri berskala kecil atau industri rumah tangga, perdagangan berskala kecil, pekerja atau buruh industri, serta mereka yang terproletarianisasi dan termarjinalisasi, . Masyarakatnya dapat dikategorikan berpenghasilan menengah ke bawah yang rentan perekonomiannya dan potesial untuk menjadi miskin.
Daerah Kumuh Perkotaan (Urban Slum).
Daerah kumuh perkotaan ini bahkan masih dijumpai pada kota-kota besar seperti Jakarta. Kerapkali tingkat kemiskinannya tidak kalah parah dibandingkan dengan daerah terpencil, daerah pedesaan, ataupun daerah pinggiran kota. Penghuni daerah kumuh perkotaan ini biasanya kaum migrant, mereka yang terproletarianisasi dan termarjinalisasi. Di daerah kumuh perkotaan ini bisa di jumpai pekerja kasar (kuli), pedagang kaki lima (vendor), tukang becak, peminta-minta, dan lain sebagainya.
KEBIJAKSANAAN DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN
Mengingat adanya dua bentuk kemiskinan yaitu Kemiskinan Absolut (Absolute Poverty) dan Kemiskinan Relatif (Relative Poverty) maka pemerintah perlu menetapkan kebijaksanaan (policy; political will), strategi maupun program-program yang spesifik untuk mengentaskan kedua bentuk kemiskinan tersebut. Kemiskinan Absolut harus dilihat sebagai prioritas, darurat (emergency) sifatnya dan memerlukan penanganan jangka pendek sampai menengah, karena biasanya permasalahan yang dihadapi tidak dapat menunggu terlalu lama dan membutuhkan program-program yang bersifat dadakan (crash program) Sedangkan pengentasan Kemiskinan Relatif memerlukan kebijaksanaan, strategi, dan program-program yang konsisten untuk jangka panjang, karena berkaitan dengan mengubah dan memelihara pemerataan distribusi pendapatan.
Pengentasan Kemiskinan Absolut.
Pengentasan Kemiskinan Absolut kerapkali bergelut dengan upaya untuk membebaskan masyarakat dari sindrom-sindrom kemiskinan. Sindrom kemiskinan di sini meliputi kondisi gizi dan kesehatan yang buruk, pendidikan/pengetahuan umum yang sangat minimal, sampai kepada sikap mental berupa keputusasaan, perilaku menyimpang yang bisa berimplikasi kriminalitas. Sindrom-sindrom tadi pada tahap awal memerlukan crash program yang sifat rehabilitative. Dengan kata lain, kondisi gizi dan kesehatannya harus dipulihkan, pendidikan/pengetahuan umumnya ditingkatkan, dan sikap mentalnya diperbaiki. Selanjutnya dibutuhkan upaya-upaya pemberdayaan (empowerment) yang bertujuan meningkatkan potensi kemandiriannya sehingga kembali menjadi manusia yang produktif.
Pengentasan Kemiskinan Relatif.
Sesungguhnya Kemiskinan Relatif tidaklah mungkin dapat dientaskan. Hal yang mungkin dilakukan adalah mempersempit kesenjangan antara Kelompok-kelompok Pendapatan (Income Group) melalui kebijaksanaan pemerintah dan instrumen-intrumen makro ekonomi. Harus diakui bahwa pada negara-negara yang menganut sistem ekonomi pasar (market economy), kebijaksanaan dan instrumen-instrumen untuk itu agak sulit untuk diterapkan. Karena maksud-maksud untuk pemerataan pendapatan seringkali berbenturan dengan kepentingan untuk pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Hal ini bisa diamati pada negara-negara sedang berkembang di mana pembangunan ekonomi justru menyebabkan yang kaya semakin kaya dan sebaliknya yang miskin semakin miskin (ter-proletarianisasi, ter-marjinalisasi). Menurut Todaro (1995: pp 174-175) usaha-usaha memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat di negara-negara sedang berkembang dapat ditempuh melalui campur tangan pemerintah yang meliputi:
• Mengubah distribusi pendapatan secara fungsional melalui pola kebijakan untuk mengubah harga-harga faktor secara positif. Misalnya meningkatkan gaji pegawai negeri, menetapkan upah minimum bagi para pekerja (buruh), kemudahan investasi, keringanan pajak, subsidi tingkat bunga, keringanan bea masuk, dan sebagainya.
• Mengubah distribusi pendapatan melalui redistribusi progresif pemilikan harta. Contoh klasik dan ektrim tentang hal ini adalah Reformasi Lahan (Land Reform). Namun bentuk reformasi lain sebenarnya cukup luas seperti memprioritaskan kredit komersil maupun bersubsidi bagi pengusaha-pengusaha kecil, memberi kesempatan kepada para pekerja untuk turut memiliki saham pada perusahaan, serta pemberdayaan lembaga-lembaga ekonomi rakyat seperti koperasi, dan lain sebagainya.
• Mengubah distribusi pendapatan golongan atas melalui pajak pendapatan dan kekayaan yang progresif. Dalam hal ini beban pajak dibuat sedemikian rupa sehingga beban yang lebih berat akan dikenakan pada golongan yang berpenghasilan tinggi.
• Mengubah distribusi pendapatan golongan lemah melalui pembayaran tunjangan dan penyediaan barang dan jasa pemerintah. Misalnya , proyek-proyek kesehatan masyarakat di desa-desa dan di daerah-daerah pinggiran kota, pemberian makan siang bagi anak-anak sekolah, perbaikan gizi anak-anak balita, pemberian air bersih serta listrik di pedesaan, tunjangan dan subsidi pangan bagi daerah-daerah pinggiran kota dan pedesaan yang miskin.
PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA
Kemiskinan di Indonesia bersifat baik absolut (absolut poverty) maupun relatif (relative poverty). Kemiskinan terjadi karena faktor alam, letak geografis yang jauh dari
Strategi Pelaksanaan Program
Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan (Gerdu Taskin)
dan Jaringan Pengaman Sosial (JPS)
Penanggulangan dan pencegahan kemiskinan akibat krisis, musibah, dan bencana
(Rehabilitasi)
- Bantuan Pangan
- Bantuan Kesehatan
- Bantuan Pendidikan
- Padat Karya
Pemberdayaan penduduk, keluarga dan masyarakat miskin
Pemberdayaan Keluarga Miskin
- Perbaikan Gizi
- Perbaikan Kesehatan
- Pendidikan
- Dll
Pemberdayaan Usaha Mikro
- Kewirausahaan
- Modal
- Teknologi
- Manajemen
- Pemasaran
- .dll
Pemberdayaan Wilayah Tertinggal
- Pemukinan
- Tempat Usaha
- dll
Sumber: Mongid, A. Gerakan Terpadu Mengatasi Kemiskinan (Gerdu Taskin). Menko Kesra dan Taskin (Mimeo)
titik pertumbuhan (growth centre), bencana alam maupun faktor-faktor yang bersifat struktural. Faktor-faktor yang bersifat struktural yaitu kurangnya pemerataan pembangunan dan kurang distribusi pendapatan akibat paradigma pembangunan yang kapitalistik dan sangat berorientasi pada pertumbuhan ekonomi (economic growth oriented) serta perencanaan yang sangat kaku dan terpusat (centrally rigid planning) selama kurang lebih 35 tahun rangkaian pelaksanaan REPELITA 1966-2001. Upaya-upaya perubahan struktural seperti mengubah distribusi pendapatan secara fungsional, redistribusi harta (assets) ataupun penerapan sistem pajak yang progresif tidak memberikan hasil yang signifikan terhadap pengentasan kemiskinan karena kurang efektifnya pemerintah dalam mengendalikan sistem ekonomi kapitalis yang demikian dominan. Pemerintah hanya mampu menyentuh golongan lemah dengan pendekatan proyek-proyek kemanusiaan (humanitarian program) baik yang bersifat program rehabilitasi (rehabilitation; crash program) yang biasanya ditindaklanjuti dengan upaya-upaya pemberdayaan (empowerment) ekonomi rakyat. Contoh khas dari hal ini adalah Program Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan (Gerdu Taskin) dan Jaringan Pengaman Sosial (JPS). Program ini terbagi dalam dua pendekatan yaitu pertama rehabilitasi atau penanggulangan kemiskinan akibat krisis ekonomi, musibah, dan bencana alam yang ditempuh melalui bantuan pangan, bantuan kesehatan, bantuan pendidikan, serta proyek padat karya; kedua pemberdayaan penduduk, keluarga dan masyarakat miskin melalui pemberdayaan keluarga miskin (perbaikan gizi dan kesehatan, pendidikan, dll.), pemberdayaan usaha mikro (kewirausahaan, modal, teknologi, manajemen, pemasaran, dll.), serta pemberdayaan wilayah tertinggal (pemukiman, tempat usaha, dll.).
Dalam prakteknya pendekatan rehabilitasi dan pemberdayaan yang terakhir di atas banyak menghadapi kendala, baik kendala pendanaan, teknis maupun non-teknis. Dari segi pendanaan, hampir mustahil pemerintah memiliki dana yang cukup untuk menanggulangi permasalah yang bersifat massal tersebut. Dari segi teknis ternyata kemampuan manajerial aparatur pemerintah masih jauh dari memadai kendalipun dibantu oleh Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kendala non-teknis menyangkut mentalitas aparat termasuk LSM tertentu yang memanfaatkan program di atas sebagai lahan korupsi. Oleh sebab itu hingga saat ini sulit dicari angka-angka ukuran keberhasilan dari Program-program Gerdu Taskin dan JPS di atas bahkan dikhawatirkan hanya bagaikan “meneteskan air di tengah lautan”.
REFERENSI:
Arief, S. and A. Sasono (1980)
Indonesia: Dependency and Underdevelopment. Kuala Lumpur, Meta
ADB (October 1999)
Fighting Poverty in Asia and the Pacific: The Poverty Reduction Strategy of the Asian Development Bank (Mimeo)
Sumardi, M. & Hans-Dieter Evers (199..)
Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok. Rajawali Pers; Diterbitkan untuk Yayasan Ilmu-ilmu Sosial.
Mongid, A.
Gerakan Terpadu Mengatasi Kemiskinan (Gerdu Taskin). Menko Kesra dan Taskin (Mimeo)
Thee Kian Wie (1989)
Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan. LP3ES
Todaro, M.P. (1995)
Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Jilid 1, Edisi Keempat. Penerbit Erlangga.