Wednesday, September 5, 2007

TEORI DAN PARADIGMA

TEORI DAN PARADIGMA

YANG MEMPENGARUHI PEMBANGUNAN DUNIA

DAN ANALISA KRITIS TERHADAP MODEL PEMBANGUNAN INDONESIA PERIODE REPELITA 1969-1994

Oleh

Julissar An-Naf

RINGKASAN

Pembangunan secara umum diartikan sebagai pemenuhan kesejahteraan individu yang meliputi pendapatan per kapita, kebutuhan pendidikan, kesehatan, kualitas hidup termasuk kebutuhan akan adanya harga diri. Dalam prakteknya perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan sangat dipengaruhi oleh cara pandang, hashab atau paradigma pembangunan yang dianut oleh para elit pada masing-masing negara.

Paradigma yang berkembang dimulai dengan Teori Pembangunan Klasik yang terpecah menjadi berbagai aliran dan menurunkan faham-faham kapitalisme dan sosialisme. Selanjutnya berkembang pula teori-teori turunan seperti Teori Tahapan Linear, Teori Perubahan Struktural, Teori Revolusi Ketergantungan Internasional, Tesis Pembangunan Dualistik, Teori Kontra Revolusi Neoklasik, dan yang terakhir Paradigma Pembangunan Berkelanjutan.

Negara-negara Sedang Berkembang (Developing Countries) banyak bereksperimentasi dengan campuran dari teori-teori di atas mulai dari yang sentralistik sampai kepada yang liberal tergantung faham idiologi yang di anut. Hal yang perlu dicatat, tidak satu pun Negara Sedang Berkembang bisa menyelesaikan masalah pembangunannya dengan hanya mengadapsi satu teori secara bulat dan utuh. Karena teori-teori pembangunan yang ada berkembang secara local spesific sehingga tidak sepenuhnya dapat diterapkan pada situasi yang berbeda.

Sejak kemerdekaan tahun 1945 pembangunan di Indonesia sendiri dapat dikatakan telah berganti-ganti faham. Namun ada satu ciri yang khas, yaitu menerapkan teori-teori yang liberal namun dalam situasi yang sangat sentralistik dan peranan pemerintah sangat dominan. Namun karena situasi local spesific tidak terlalu dikenali dan didalami, selalu dihadapkan kepada keadaan dead lock baik di masa Orde Lama maupun di masa Orde Baru.


HAKEKAT PEMBANGUNAN

Secara umum disepakati bahwa pembangunan adalah suatu proses perubahan yang mengarah kepada peningkatan kesejahteraan manusia yang meliputi perbaikan tingkat hidup, kesehatan, pendidikan, serta keadilan. Karena tumpuan dari proses perubahan tersebut adalah bidang ekonomi, maka definisi dari pembangunan sering terfokus kepada definisi pembangunan ekonomi, yaitu: (1) pemenuhan kesejahteraan individu yang sering diukur dalam bentuk pendapatan per kapita, (2) pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan kualitas hidup secara umum, dan (3) pemenuhan akan adanya harga diri (self-esteem dan self-respect). (Goulet, 1971; Pearce and Warford, 1993).

TEORI DAN PARADIGMA YANG MEMPENGARUHI PEMBANGUNAN DUNIA

Praktek-praktek perencanaan pembangunan sangat dipengaruhi oleh cara pandang, mazhab atau paradigma pembangunan yang dianut oleh para elit dari masing-masing negara. Teori atau paradigma tersebut dapat diklasifikasikan dan dirangkum sebagai berikut:

1. Teori Pembangunan Klasik.

Teori Pembangunan Klasik memiliki tiga aliran, yaitu aliran-aliran Emile Durkheim, Max Weber, dan Karl Marx.

a. Aliran Durkheim.

Menurut Durkheim pembangunan adalah proses perubahan masyarakat dalam dimensi kuantitatif dan kualitatif, yaitu adanya perubahan orientasi masyarakat dari berfikir tradisional menjadi modern. Karena itu akan terjadi perubahan tata nilai masyarakat dari yang berbasiskan solidaritas mekanik menjadi solidaritas organik. Indikator yang bisa dilihat adalah tumbuh dan berkembangnya organisasi-organisasi sosial ekonomi modern. Implikasi dari konsep pembangunan ini, masyarakat berkembang secara bertahap sebagai berikut:

· Tahap Pra Industri: pada tahap ini hubungan sosial yang berkembang pada umumnya hanya terjadi dalam kelompok masyarakat (isolasi fungsional);

· Tahap Industrialisasi: sebagai akibat dari proses industrialisasi maka terjadi perembesan (spill over) struktur budaya modern dari pusat yang berada di kota ke daerah pinggiran yang berada di pedesaan;

· Tahap Perkembangan: pusat secara terus menerus menyebarkan modernisasi sehingga tercapai keseimbangan hubungan fungsional antara pusat dan pinggiran.

a. Aliran Weber.

Weber berpendapat bahwa pembangunan adalah perubahan orientasi masyarakat dari tradisional-irasional menuju modern-rasional. Indikatornya adalah munculnya birokratisasi dalam setiap unsur kehidupan yang dicapai melalui distribusi kekuasaan serta munculnya budaya oposisi di wilayah pinggiran sebagai respon terhadap dominasi pusat yang berkepanjangan.

b. Aliran Marx.

Sedangkan menurut Karl Marx, pembangunan adalah perubahan sosial yang terjadi sebagai akibat konflik sosial antar kelas, yang secara bertahap akan merubah kehidupan masyarakat. Esensi dari teori ini adalah pembangunan akan mewujudkan masyarakat tanpa kelas (classless society) dan materialisme sebagai hirarkinya. Berdasarkan teori Marx, masyarakat terbagi atas: (1) masyarakat primitif, (2) masyarakat feodal, (3) masyarakat kapitalis, (4) masyarakat sosialis, dan (5) masyarakat komunis.

2. Teori Tahapan Linear (Tahapan Pertumbuhan Ekonomi Rostow).

Menurut Rostow, perubahan dari terbelakang (underdeveloped) menjadi maju (developed) dapat dijelas dalam seri tahapan yang harus dilalui oleh semua negara. Sebelum suatu negara berkembang menjadi negara maju, harus dilalui suatu tahap yang disebut tahap tinggal landas (take off). Teori ini menyarankan agar negara-negara sedang berkembang (developing country) tinggal mengikuti saja seperangkat aturan pembangunan tertentu untuk tinggal landas, sehingga pada gilirannya akan berkembang menjadi negara maju. Prasyarat penting untuk dapat tinggal landas, suatu negara harus mampu membangun pertanian, industri, dan perdaganganya sehingga mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Prasyarat penting lainnya adalah harus ada mobilisasi tabungan dengan maksud untuk menciptakan investasi yang cukup untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Harrod-Domar mengemukakan bahwa Pertumbuhan Pendapatan Nasional Kotor (Gross National Product/GNP) secara langsung bertalian erat dengan rasio tabungan, yaitu lebih banyak bagian GNP yang ditabung dan diinvestasikan maka akan lebih besar lagi pertumbuhan GNP tersebut. Dari model yang dikemukakan oleh Harrod-Domar tersebut Rostow menyimpulkan bahwa negara-negara yang dapat menabung 10-20% dari GNP-nya dapat tumbuh dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibanding dengan negara-negara yang tabungannya kurang dari kisaran tersebut. Di negara-negara berkembang pembentukan modal relatif rendah sehingga untuk memperoleh pertumbuhan yang diinginkan dibutuhkan pinjaman luar negeri.

3. Teori Perubahan Struktural.

Teori Perubahan Struktural ini mempunyai dua model, yaitu Model Pembangunan Lewis dan Model Perubahan Struktur dan Pola Pembangunan.

a. Model Pembangunan Lewis.

Dalam Model Pembangunan Lewis, perekonomian dianggap terdiri dari dua sektor: (1) Sektor Tradisional, dengan ciri-ciri di pedesaan, subsisten, kelebihan tenaga kerja dan produktivitas marjinalnya sama dengan nol; (2) Sektor Modern, dengan ciri-ciri di perkotaan, industri, produktivitasnya tinggi, sebagai tempat penampungan tenaga kerja yang ditranfer sedikit demi sedikit dari Sektor Tradisional. Model ini memfokuskan pada terjadinya proses pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi serta kesempatan kerja di Sektor Modern, yang dimungkinkan dengan adanya perluasan lapangan kerja di Sektor Modern.

b. Model Perubahan Struktur dan Pola Pembangunan Hollis Chenery .

Model ini dikembangkan oleh Hollis Chenery yang menyarankan adanya perubahan struktur produksi, yaitu pergeseran dari produksi barang pertanian ke produksi barang industri pada saat pendapatan per kapita meningkat. Model ini menyatakan bahwa peningkatan tabungan dan investasi perlu tetapi tidak harus cukup (necessary but not sufficient condition) untuk memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi. Pola ini juga menyaratkan bahwa selain akumulasi modal fisik dan manusia, diperlukan pula himpunan perubahan yang saling berkaitan dalam struktur perekonomian suatu negara untuk terselenggaranya perubahan dari sistem ekonomi tradisional ke sistem ekonomi modern. Perubahan struktur ini melibatkan seluruh fungsi ekonomi termasuk tranformasi produksi dan perubahan dalam komposisi permintaan konsumen, perdagangan internasional serta perubahan-perubahan sosial-ekonomi seperti urbanisasi, pertumbuhan dan distribusi penduduk.

4. Teori Revolusi Ketergantungan Internasional.

Pada dasawarsa 1970-an, teori dan model-model ketergantungan internasional kian mendapat dukungan di Dunia Ketiga. Teori ini memadang bahwa negara-negara Dunia Ketiga telah menjadi korban dari berbagai kelakuan kelembagaan politik dan ekonomi internasional maupun domestik. Negara-negara Dunia Ketiga telah terjebak dalam hubungan ketergantungan dan dominasi oleh negara-negara kaya. Teori ini mempunyai dua aliran, yaitu Model Ketergantungan Kolonial dan Model Paradigma Palsu.

a. Model Ketergantungan Kolonial.

Teori Ketergantungan ini muncul sebagai antitesi terhadap Teori Modernisasi dan merupakan variasi dari teori yang dikembangkan oleh Karl Marx (Marxian). Ketergantungan itu sendiri berarti berarti situasi di mana ekonomi suatu negara dikondisikan oleh perkembangan dan ekspansi ekonomi negara lain dan ekonomi negara tersebut tunduk padanya.

Secara sengaja negara-negara kaya mengeksploitasi dan menelantarkan ko-eksistensi negara-negara miskin negara miskin dalam sistem internasional yang didominasi oleh hubungan kekuasaan yang sangat tidak seimbang antara pusat atau centre (negara-negara maju) dan pinggiran atau periphery (negara-negara berkembang). Praktek dan kondisi tersebut menggoda negara-negara miskin untuk mandiri dan bebas dalam upaya-upaya pembangunan mereka yang sulit dan bahkan kadang-kadang serba tidak mungkin.

Kelompok-kelompok tertentu di negara-negara sedang berkembang (tuan tanah, pengusaha, pejabat, militer) yang menikmati penghasilan tinggi, status sosial, dan kekuasaan politik merupakan kaum elit dalam masyarakat. Kepentingannya, sengaja atau tidak sengaja melestarikan ketidakmerataan dan eksploitasi ekonomi oleh negara-negara maju terhadap negara-negara miskin karena secara langsung atau tidak langsung mereka mengabdi kepada kekuasaan kapitalis internasional.

b. Model Paradigma Palsu.

Keterbelakangan negara-negara Dunia Ketiga disebabkan oleh kesalahan atau ketidaktepatan nasihat/saran yang diberikan oleh para penasihat dan para pakar internasional dari lembaga-lembaga bantuan negara maju dan donor-donor multinasional. Nasihat atau saran tersebut mungkin bermaksud baik tapi sering tidak mempunyai informasi yang cukup tentang negara yang akan dibantu terutama negara-negara sedang berkembang.

5. Tesis Pembangunan Dualistik.

Tesis ini berlandaskan fenomena eksistensi ganda, yaitu adanya masyarakat yang kaya (superior) dan adanya masyarakat yang miskin (inferior). Tesis ini memeiliki empat syarat:

· Dualisme merupakan prasyarat yang memungkinkan pihak yang superior dan inferior hidup berdampingan pada suatu tempat dan waktu yang sama.

· Ko-eksistensi superior dan inferior bukan sesuatu yang bersifat transisional tetapi sesuatu yang bersifar kronis.

· Superioritas dan inferioritas tidak menunjukan tanda-tanda melemah, bahkan keduanya cendrung menguat untuk menjadi kekal.

· Saling keterkaitan antara unsur superioritas dan unsur inferioritas sehingga keberadaan unsur superioritas sedikit atau sama sekali tidak meningkatkan unsur inferioritas.

6. Teori Kontra-Revolusi Neoklasik.

Teori ini muncul pada dasawarsa 1980-an yang berhaluan konservatif yaitu politik yang dianut Amerika, Kanada, Inggeris, dan Jerman Barat. Teori ini menyerukan agar diadakan swastanisasi perusahaan-perusahaan milik pemerintah di negara-negara maju serta munculnya himbauan untuk meninggalkan campur tangan pemerintah dalam perekonomian serta deregulasi di negara-negara berkembang. Teori ini menegaskan bahwa keterbelakangan negara-negara berkembang bersumber dari buruknya alokasi sumberdaya yang bertumpu pada kebijakan-kebijakan harga yang tidak tepat dan campur tangan pemerintah yang berlebihan.

7. Paradigma Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development).

Proses kristalisai paradigma pembangunan berkelanjutan dimulai dari tahap perdebatan antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan pada tahun 1960-an hingga tahun 1970-an. Kemudian pada tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an mulai dikenal konsep dan argumen pentingnya pembangunan berkelanjutan.

World Commision for Environmental and Development (WECD) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang”. Esensi pembangunan berkelanjutan adalah “perbaikan mutu kehidupan manusia dengan tetap berusaha tidak melampaui kemampuan ekosistem yang mendukung kehidupannya. Sedangkan ekonomi berkelanjutan merupakan buah dari pembangunan berkelanjutan, yaitu “sistem ekonomi yang tetap memelihara basis sumberdaya alam yang digunakan dengan terus mengadakan penyesuaian-penyesuaian dan penyempurnaan-penyempurnaan pengetahuan, organisasi, efisiensi teknis dan kebijaksanaan (IUCN, UNEP, WWF, 1993).

Pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pendekatan, yaitu pendekatan ekonomi, ekologi, dan sosial. Pendekatan ekonomi menekankan pada perolehan pendapatan yang berbasis pada penggunaan sumberdaya yang efisien. Pendekatan ekologi menekankan pada pentingnya perlindungan keanekaragaman hayati yang akan memberikan kontribusi pada keseimbangan ekosistem dunia. Sedangkan pendekatan sosial menekankan pada pemeliharaan kestabilan sistem sosial budaya meliputi penghindaran konflik keadilan baik dalam satu generasi maupun antar generasi (Munasinghe, 1993).

PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI NEGARA-NEGARA SEDANG BERKEMBANG

Di Negara-negara Sedang Berkembang (Developing Countries) seringkali diterapkan campuran dari perencanaan secara terpusat yang bergaya etatisme sampai kepada perencanaan yang liberal menggunakan mekanisme pasar atau harga. Misalnya Paauw (1965) mengemukan sedikitnya ada tiga klasifikasi perencanaan di negara Asia Tenggara:

· The Small Effective planners: menggunakan policies yang efektif terhadap sektor swasta, seperti diterapkan di Malaysia dan Taiwan;

· The Free Enterprice Equivators: lebih menyerahkan perencanaan kepada kekuatan pasar atau bahkan tidak ada perencanaan yang sesungguhnya, seperti di Philipina;

· The Doctrinaire Nationalist: yang merupakan perencanaan terpusat dan sangat menganut etatisme, seperti di laksanakan di Ceylon, Birma, dan Indonesia.

Ditinjau dari teknik perencanaannya, teknik perencanaan yang sering dilakukan di Negara-negara Sedang Berkembang adalah:

· Project by Project Approach atau Perencanaan Proyek demi Proyek;

· Sectoral Planning atau Perencanaan Sektoral yang merencanakan kebijaksanaan dan kegiatan usaha untuk mengembangkan suatu sektor kegiatan ekonomi tertentu;

· Integrated Public Investment Planning yaitu perencanaan investasi menyeluruh pada Sektor Publik;

· Comprehensive Planning atau Perencanaan Komprehensif yang meliputi perencanaan yang menyeluruh pada Sektor Pemerintah dan Sektor Masyarakat.

PEMBANGUNAN DI INDONESIA

Sejak kemerdekaan hingga tahun 1960-an, berbagai upaya perencanaan pembangunan telah dilakukan di Indonesia. Namun tidak satupun dari rencana-rencana tersebut mencapai tahap yang matang dan membuahkan hasil yang memuaskan, yaitu (Tjokroamidjoyo 1982):

· Pada tanggal 12 April 1947 dibentuk Panitia Pemikir Siasat Ekonomi yang diketuai oleh Mohammad Hatta. Panitia ini menghasilkan rencana sementara berjudul “Dasar Pokok Dari Pada Plan Mengatur Ekonomi Indonesia”. Tapi rencana tersebut tidak sempat dilaksanakan karena perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan.

· Pada bulan Juli tahun 1947 itu juga, di bawah pimpinan I.J. Kasimo dirumuskan “Plan Produksi Tiga Tahun RI”. Tapi karena clash I dan II dengan penjajah rencana ini juga tidak sempat dilaksanakan.

· Kemudian disusun “Rencana Kesejahteraan Istimewa 1950-1951” (untuk bidang pertanian pangan) yang disusul dengan “Rencana Urgensi Untuk Perkembangan Industri 1951-1952” di bawah pimpinan Sumitro Djojohadikusumo. Rencana-rencana ini tidak berjalan dengan baik.

· Selanjutnya ada pula yang dinamakan “Rencana Pembangunan Lima Tahun 1956-1960” yang disusun oleh Biro Perancang Negara yang diprakarsai oleh Sumitro Djojohadikusumo. Namun pelaksanaannya tertunda hingga tahun 1958 dan pada tahun 1959 sudah diganti dengan rencana baru.

· Pada tahun 1960 berhasil disusun lagi “Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969”. Namun dalam kenyataannya rencana ini lebih berupa “dokumen politik” dari pada rencana pembangunan dalam arti yang sesungguhnya, tidak realistis, sehingga rencana kurang berjalan baik dan keadaan ekonomi bertambah parah.

· Dalam keadaan ekonomi yang cukup kritis disusun pula “Perencanaan Ekonomi Perjuangan Tiga Tahun” yang disebut juga “Rencana Banting Stir”. Rencana ini tidak pernah terselenggara dengan baik dan tidak mampu menolong parahnya situasi ekonomi.

Akibat tidak satupun rencana pembangunan mendatangkan hasil, keadaan ekonomi Indonesia kian bertambah parah hingga jatuhnya Pemerintahan Soekarno oleh kudeta Gerakan 30 September PKI pada tahun 1965.

REPELITA

Belajar dari pengalaman sebelumnya, Pemerintahan Suharto menetapkan prioritas pada stabilisasi ekonomi, terutama penurunan tingkat inflasi yang telah mencapai 600 persen pada tahun 1965 dan 1966, perbaikan keuangan pemerintah, dan rehabilitasi basis-basis ekonomi yang produktif. Pengoperasian kekuatan-kekuatan pasar digalakan dari sebelumnya, investasi modal asing diundang masuk, dan bantuan (pinjaman) luar negeri dicari secara aktif. Pemerintah meneruskan proses pembangunan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) dengan tiga tujuan utama (Trilogi Pembangunan) yaitu Stabilisasi, Pertumbuhan, dan Pemerataan.) Juga perlu dicatat bahwa pembangunan pertanian dan pedesaan menjadi titik tolak pembangunan dengan tujuan ganda. Pertama, kebutuhan untuk menjamin ketersediaan pangan di perkotaan dengan harga yang relatif stabil; kedua, kebutuhan untuk menjaga kendali politik di daerah pedesaan (White 1989).

Gambaran mengenai kebijaksanaan dan strategi dari REPELITA adalah sebagai berikut (Department of Information Republic of Indonesia 1991):

· REPELITA I (tahun fiskal 1969/1970 sampai 1973/1974) menekankan pada rehabilitasi perekonomian terutama peningkatan produksi pertanian serta perbaikan irigasi dan sistem transportasi.

· REPELITA II (tahun fiskal 1973/1974 – 1978/1979) difokuskan pada peningkatan standar kehidupan rakyat. Tujuan spesifik dari REPELITA II adalah memenuhi kecukupan pangan, pakaian, dan perumahan (pangan, sandang, papan); memperbaiki dan mengembangkan infrastruktur, menyebarkan dan memeratakan distribusi hasil-hasil pembangunan; serta menyediakan lapangan kerja baru. Anggaran pembangunan untuk bidang kesejahteraan sosial seperti pendidikan, kesehatan dan keluarga berencana lebih besar dibanding dengan pada REPELITA I. Demikian juga dengan anggaran pembangunan untuk bidang industri dan pertambangan. Pembangunan pertanian dan pedesaan tetap memperoleh anggaran terbesar.

· REPELITA III (tahun fiskal 1978/1979 – 1983/1984) diarahkan kepada tiga tujuan pokok, yaitu: memperoleh distribusi yang lebih merata dari hasil-hasil pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, menjaga pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan menjaga stabilitas nasional. Sementara itu prioritas pembangunan ditujukan pada Sektor Pertanian untuk mencapai swasembada pangan serta industri pengolahan bahan baku menjadi barang jadi.

· REPELITA IV (tahun fiskal 1984/1985-1988/1989) meletakan penekanan pada Sektor Pertanian untuk mempertahankan swasembada pangan terutama swasembada beras. Pengembangan industri diprioritaskan pada industri-industri yang bisa menghasil mesin-mesin ringan maupun berat.

· REPELITA V (tahun fiskal 1989/1990 – 1993/1994) dinilai sangat menentukan karena merupakan tahap akhir untuk persiapan menuju era tinggal landas (take off) pada periode REPELITA VI. Pada masa REPELITA V ini pembangunan pada bidang ekonomi diberikan prioritas dengan penekanan pada pembangunan pada Sektor Industri dengan didukung oleh pertumbuhan yang cukup tinggi dari Sektor Pertanian.

ANALISA KRITIS TERHADAP PELITA

Catatan yang perlu dikemukan pada rangkaian REPELITA di atas oil boom yang dimulai tahun 1973 memberikan sumbangan yang sangat menentukan pada Perekonomian Indonesia. Sejak PELITA II anggaran pembangunan dapat melampaui budget. Ini dikarenakan meningkatnya penerimaan negara dari ekspor minyak mentah. Sumbangan dari ekspor minyak dan gas bumi pada nilai ekspor pada periode PELITA III meningkat rata-rata 75,2 persen per tahun. Sejalan dengan itu terjadi perkembangan yang memuaskan dalam neraca pembayaran. Anggaran pembangunan selama REPELITA III meningkat 274 persen. Selama periode REPELITA IV kecendrungan perkembangan perekonomian global yang menguntungkan ditambah dengan turunnya harga minyak secara drastis di pasaran internasional memaksa pemerintah untuk mengambil langkah-langkah penyesuaian (readjustment and reform) di berbagai bidang seraya mencoba menggalakan ekspor non-migas (Ibid.). Memasuki awal REPELITA VI agaknya Indonesia tidak berhasil menemukan jalan keluar dalam menghadapi krisis ekonomi global. Pada periode REPELITA VI pun format keunggulan komparatif (comparative advantages) dari Ekonomi Indonesia belum tampak. Hal itu diindikasikan dengan tidak


mampu bersaingnya harga-harga sebagian besar produk pertanian maupun industri Indonesia di pasaran internasional. Hal itu diperberat pula dengan masalah-masalah micro economy yang tidak terselesaikan dan berbagai miss management di dalam bidang pemerintahan. Akibatnya pemerintah mengalami kesulitan neraca pembayaran dan sangat mengandalkan hutang luar negeri yang sudah sangat spektakuler jumlahnya. Akhirnya semuanya bermuara pada krisis politik sehingga Suharto harus turun dari kursi kepresidenan.

REFERENSI:

Pearce, D.W. and J.J. Wardford (1993)

World Without End, Economics, Environment and Sustainable Development. Oxford University Press.

TODARO, M.P. (1989)

Economic Development in the Third World, Foutrh Edition. Longman Group Limited.

Tjokroamidjoyo, B. (1982)

Perencanaan Pembangunan. Jakarta, PT Gunung Agung

Department of Information Republic of Indonesia (1991)

Indonesia 1991: An Official Handbook. Department of Information, Directorate of Foreign Information Services.

Keynes, J.M. (1936)

The General Theory of Employment, Interest and Money.

Lewis, W.A. (1954)

Economic Development with Limited Supply of Labour.

Paauw, D.S. (1965)

Development Planning in Asia. Center for Development Planing, National Planning Association.

Rostow, W.W. (1971)

The Stage of Economic Growth. Cambridge University Press.

White, B. (1989)

“Java’s Green Revolution in Long-term Perspective” in: Prisma (English Edition), No. 48, Desember 1989. Jakarta, LP3ES.