Thursday, August 30, 2007

MEMAHAMI BEBERAPA POTENSI MASALAH DALAM PROSES OTONOMI DAERAH

MEMAHAMI BEBERAPA POTENSI MASALAH

DALAM PROSES OTONOMI DAERAH*)

Oleh

Julissar An-Naf

R I N G K A S A N

Pada akhir masa pemerintahan Rezim Orde Baru, kemandekan partisipasi daerah dalam bernegara dan penyelenggaraan pembangunan sudah dirasa mencapai puncaknya sehingga pemerintah pusat tidak mempunyai pilihan lain selain mentuntaskan masalah otonomi daerah tersebut. Dalam kontek Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah diartikan sebagai Pelimpahan hak, wewenang dan tanggungjawab pemerintahan atau otonomi yang luas dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Propinsi secara terbatas/lintas kabupaten/kota kecuali bidang-bidang Politik Luar Negeri, Hukum/Peradilan, Pertahanan dan Keamanan, Keuangan dan Moneter, dan Agama.

Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah atau sering disebut sebagai “Undang-undang Otonomi Daerah” dapat dikatakan sebagai langkah permulaan dari proses otonomi daerah itu sendiri. Bahkan agar undang-undang tersebut dapat berfungsi dengan baik masih diperlukan berbagai peraturan pemerintah pusat dan daerah melalui proses politik di Badan-badan Legislatif dan Eksekutif. Karena itu pengertian otonomi daerah masih diartikan bermacam-macam (multi interpretative) bergantung pada kompromi kepentingan antara pemerintah pusat dan masing-masing daerah secara spesifik. Pemerintah Pusat berkepentingan agar undang-undang tersebut tetap dapat mengikat eksistensi NKRI, menguasai APBN yang cukup serta mampu mengalokasikan anggaran pembangunan yang memadai bagi daerah-daerah yang miskin dan belum/tidak mampu mandiri. Sementara Pemerintah Daerah khususnya yang surplus berharap dapat segera menikmati kekayaan daerahnya untuk dengan segera meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerahnya. Disinilah diperlukan konfromi-komfromi jalan tengah yang dapat mengakomodasi kedua kepentingan tersebut.

Lebih lanjut berbagai potensi masalah diperkirakan masih akan menghadang proses otonomi daerah. Selain Undang-undang Otonmi Daerah tersebut masih relatif baru dan rentan masalah, juga akan dihadapkan dengan masalah-masalah ancaman disintegrasi bangsa, adminsitrasi pemerintah yang belum siap, paradigma manajemen/administrasi pembangunan yang perlu berubah ke orientasi pelayanan publik, sumberdaya lokal yang belum memadai, serta ancaman globalisasi yang kesemuanya itu harus secara terus menerus menjadi pertimbangan untuk peyempurnaan Undang-undang Otonmi Daerah di atas.



Pengantar

Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli Tahun 1959 yang membubarkan Parlemen dan memberlakukan kembali Undang-undang Dasar 1945 dengan konsekuensi merubah Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), membawa sistem pemerintahan Indonesia ke azaz sentralisasi yang ketat. Dengan demikian dominasi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah menjadi kian bertambah kuat di segala bidang, baik di bidang politik, pertahanan dan keamanan, sosial, budaya, perencanaan pembangunan, administrasi pemerintahan sampai kepada perekonomian daerah. Situasi tersebut sampai kepada kesan adanya dikotomi yang antara pusat dan daerah, Jawa dan Luar Jawa. Pusat dan Jawa identik dengan “pertumbuhan ekonomi yang pesat” dan “kemakmuran”, sementara Daerah dan Luar Jawa identik dengan “keterbelakangan ekonomi” dan “kemiskinan”. Akibat yang dirasakan cukup berat adalah timbulnya ketergantungan dan ketidakmandirian ekonomi daerah terhadap pusat yang pada akhirnya menjadi beban yang nyaris tidak terpikul oleh pusat itu sendiri.

Terbitnya beberapa undang-undang seperti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa merupakan upaya untuk membangkitkan peranan dan partisipasi daerah dalam sistem pemerintahan dan pembangunan namun tetap dalam azaz dan kontek sentralisasi tersebut. Benar bahwa undang-undang di atas telah mencetuskan azaz-azaz desentralisasi dan otonomi daerah namun belum cukup kuat untuk membangkitkan peranan, partisipasi dan “rasa memiliki” daerah dalam pembangunan karena semangat dari undang-undang tersebut dirasa lebih merupakan “kewajiban daerah” terhadap pusat dari pada “hak-hak daerah” yang dapat langsung dirasakan oleh rakyat di daerah.

Pada akhir masa pemerintahan Rezim Orde Baru, kemandekan partisipasi daerah dalam bernegara dan penyelenggaraan pembangunan sudah dirasa mencapai puncaknya sehingga pemerintah pusat tidak mempunyai pilihan lain selain mentuntaskan masalah otonomi daerah tersebut. Maka terbitlah Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang dikenal sebagai Undang-undang Otonomi Daerah. Keberadaan undang-undang tersebut terasa baru merupakan cetusan ide yang dalam kenyataannya memerlukan berbagai pengaturan dan rincian yang memerlukan konsensus-konsensus secara spesifik dengan masing-masing daerah. Bahkan implementasi dari undang-undang tersebut masih perlu dikaji dan diuji kelayakannya dan masih dinilai mengandung potensi masalah yang besar.

Pengertian Otonomi Daerah

Dalam kontek Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah diartikan sebagai Pelimpahan hak, wewenang dan tanggungjawab pemerintahan atau otonomi yang luas dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Propinsi secara terbatas/lintas kabupaten/kota kecuali bidang-bidang Politik Luar Negeri, Hukum/Peradilan, Pertahanan dan Keamanan, Keuangan dan Moneter, dan Agama.

Titik berat dari pengertian otonomi atau pelimpahan-pelimpahan di atas adalah secara prinsip pemerintah pusat berharap pemerintah daerah mampu mengelola dan membangunan kemandirian perekonomian daerah , termasuk pengelolaan dan pengembangan aspek-aspek sosio-kultural daerah, dan untuk itu pemerintah pusat akan mengalokasikan sumber-sumber daya yang dibutuhkan. Mengenai pengalokasian sumber-sumber daya untuk sementara ini diatur dalam Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang selanjutnya masih perlu diatur oleh berbagai peraturan-peraturan pemerintah.

Dikaitkan dengan konsep desentralisasi menurut Rondinelli dan Nellis (di dalam Syafrudin, 2000), otonomi daerah dapat diartikan sebagai pelimpahan tanggungjawab untuk merencanakan, manajemen dan pertumbuhan serta alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat dan perwakilannya kepada unit-unit dari departemen /kementrian pemerintahan pusat, atau perwakilannya, unit-unit sasaran di bawahnya, kewenangan publik yang semi otonom atau korporasi, luas area, kewenangan regional dan fungsional, lembaga non-departemental atau organisasi sukarela. Selanjutnya menurut Rondinellis (di dalam Syafrudin, 2000) dikatakan bahwa sistem desentralisasi menjadi faktor penting dalam berotonominya suatu daerah. Desentralisasi diharapkan dapat mengurangi hambatan dalam mekanisme birokrasi dan komunikasi antara pelaksana operasional dengan perencana nasional di tingkat pusat. Secara teoritis, desentralisasi itu seharusnya memberikan kewenangan diskresi (keleluasaan wewenang bertindak) yang lebih luas kepada para “manajer” di tingkat daerah sehingga dapat memutuskan rantai hirarki yang terlalu panjang dan berliku-liku. Rondinelli dalam kerangka berfikirnya menggunakan konsep desentralisasi dalam arti luas, yaitu meliputi dekonsentrasi, devolusi, delegasi dan partisipasi. Sementara itu, dalam hubungannya dengan partisipasi, Uphoff, Esman, Montgomery didukung pula oleh Fernandez (di dalam Syafrudin, 2000) senada memberikan argumentasi bahwa partisipasi (yang berarti dukungan) dalam perencanaan dan manajemen pembangunan dinilai akan meningkat apabila kesempatan berpartisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan diberikan pula kepada pelbagai daerah yang berbeda karakteristiknya.

Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah atau sering disebut sebagai “Undang-undang Otonomi Daerah” dapat dikatakan sebagai langkah permulaan dari proses otonomi daerah itu sendiri. Bahkan agar undang-undang tersebut dapat berfungsi dengan baik masih diperlukan berbagai peraturan pemerintah pusat dan daerah melalui proses politik di Badan-badan Legislatif dan Eksekutif. Karena itu pengertian otonomi daerah masih diartikan bermacam-macam (multi interpretative) bergantung pada kompromi kepentingan antara pemerintah pusat dan masing-masing daerah secara spesifik. Pemerintah Pusat berkepentingan agar undang-undang tersebut tetap dapat mengikat eksistensi NKRI, menguasai APBN yang cukup serta mampu mengalokasikan anggaran pembangunan yang memadai bagi daerah-daerah yang miskin dan belum/tidak mampu mandiri. Sementara Pemerintah Daerah khususnya yang surplus berharap dapat segera menikmati kekayaan daerahnya untuk dengan segera meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerahnya. Disinilah diperlukan konfromi-komfromi jalan tengah yang dapat mengakomodasi kedua kepentingan tersebut. Tabel-tabel berikut dapat membantu memahami ketentuan-ketentuan normatif yang diharapkan oleh Undang-undang Otonomi Daerah tersebut.

Otonomi Daerah

Menurut Smith (1979) serta Hilhorst (1980) di dalam Syafrudin (2000) ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar suatu daerah dapat berotonomi dengan baik, yaitu prasyarat dari aspek pemerintahan, manajerial , dan potensi daerah. Dari aspek pemerintahan suatu daerah harus:

· Mampu menerima wewenang yang dilimpahkan;

· Mampu melaksanakan fungsi/tugas pemerintahan;

· Mampu melaksanakan bidang tugas administratif; dan

· Mampu mengumpulkan sumber pendapatan dari daerah

(Smith 1979).

Dari aspek manajerial perlu dipenuhi prasyarat:

· Mampu merencanakan produksi barang dan jasa;

· Mampu mengawasi dampak dari produksi barang dan jasa; dan

· Mampu mendorong pembangunan daerah sesuai dengan sumber-sumber yang tersedia (Hilhorst 1980).

Sedangkan dari aspek potensi daerah perlu dipenuhi prasyarat-prasyarat:

· Kondisi wilayah mendukung;

· Besar anggaran belanja memadai;

· Tidak ada/kurangnya ketergantungan keuangan dari luar; dan

· Potensi dan kualitas personil memadai.

(Smith 1979).

Kempat prasyarat dari aspek pemerintahan mensayaratkan agar pemerintah daerah khususnya tingkat kota atau kabupaten sudah marus mampu mandiri dalam administrasi pemerintahan, memiliki good governance: birokrasi yang bersih (clean), efektif dan efisien yang berorientasi kepada pelayanan publik (public service). Tidak seperti nuansa sebelumnya, pemerintah daerah seolah-olah mengabdi kepada kepentingan pemerintah pusat sehinngga timbul gejala ABS (Asal Bapak Senang).

Aspek kedua, yaitu aspek manajerial mensyaratkan agar pemerintah daerah bukan lagi sekedar kumpulan adminsitrator atau birokrat tapi juga kumpulan entrepreuner yang memiliki jiwa wiraswasta (entrepreunership) serta mampu memanaj pembangunan atau memiliki kemampuan development entrepreneurship. Kekuatan (strength) dan peluang (opportunity) harus dapat dikembangkan dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menutupi kelemahan (weakness) dan mengeleminasi ancaman (threat) yang ada. Karena itu pimpinan daerah masa depan haruslah seorang entrepreuner, visioner, memili visi dan misi yang jelas untuk membangun daerah bagaikan sebuah unit bisnis yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat daerahnya.

Ketiga, aspek potensi daerah juga cukup penting. Pertama-tama yang terfikirkan mengenai potensi daerah adalah sumberdaya alam khususnya sumberdaya alam yang tidak terbarukan (unrenewable resources) seperti bahan tambang (mineral, minyak bumi dan gas alam) selain lahan yang luasnya relatih konstan. Kedua adalah hutan, potensi laut sebagai renewable resources. Selanjutnya sumber energi panas bumi dan air hal yang dapat pula menjanjikan. Letak geografis dan tingkat perekonomian dan perdagangan yang telah berlangsung serta infrastruktur ekonomi dan sosial yang sudah ada juga sangat menentukan sebagai potensi daerah. Akhirnya yang juga cukup penting dan menetukan adalah sumberdaya manusia, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta budaya kewiraswastaan yang telah tumbuh di masyarakat. Sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta kekhasan seperti letak geografis bahkan budaya yang spesifik dapat menjadi basis pembangunan daerah. Hal yang lebih penting dari semua itu, pimpinan daerah berserta masyarakatnya harus mampu menemukan keunggulan komparatif dan kompetitif serta bisnis inti (core business) dari daerahnya yang dapat diandalkan dalam pertumbuhan dan kemandirian ekonomi daerahnya.

Potensi Masalah

1) Undang-undang Otonomi Daerah Masih Rentan:

Pertama-tama, pengguliran Undang-undang Otonomi Daerah itu sendiri mengandung masalah yang cukup kompleks karena proses sosialisasi yang demikian singkat. Sementara itu uji-uji coba yang dilakukan belum sempat dijadikan sebagai “feed back” untuk melakukan revisi-revisi yang diperlukan. Harus diakui bahwa Undang-undang Otonomi Daerah baru merupakan dokumen kesepakatan politik antara Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara di tingkat Pusat sementara harus pula di akui bahwa sistem politik dan kenegaraan kita masih memungkinkan terjadinya kesenjangan aspirasi antara rakyat, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Sebagai contoh, sementara pemerintah pusat mengartikan otonomi daerah sebagai pelimpahan hak, wewenang dan tanggungjawab pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, timbul berbagai interpretasi. Daerah-daerah yang kaya menginterpretasikan sebagai otonomi dan desentralisasi yang menjurus kepada faham federalisme bahkan di daerah seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur dan Irian Jaya telah terlontar ide-ide untuk merdeka. Di sisi lain, daerah-daerah yang miskin agak enggan menerima pelimpahan hak, wewenang dan tanggungjawab dan tetap mempertanyakan sebarapa jauh Pemerintah Pusat tetap bisa memberikan subsidi terhadap APBD-nya. Penerimaan konsep otonomi daerah ini bisa diterima dalam ruang over dan under interpretation tersebut dengan kata lain bisa saja diterima setengah-setengah atau dengan berbagai catatan dan komfromi yang perlu dipertimbangkan.

2) Ancaman Disintegrasi Bangsa:

Sekalipun peneyelenggara negara telah berusaha menegakan dan melestarikan Negara Kesatuaan Republik Indonesia (NKRI), namun masih terdapat ancaman, hambatan dan gangguan terhadap keutuhan NKRI. Kemajemukan yang rentan konflik, kebijakan yang terpusat dan berkesan otoriter serta pengaruh gejolak politik internasional berpotensi menyuburkan bibit disintegrasi bangsa. Munculnya gejala disintegrasi bangsa dan merebaknya berbagai konflik sosial di berbagai daeran seperti yang terjadi di Maluku dapat menjadi gangguan bagi keutuhan NKRI. Apabila tidak segera ditanggulangi, gejala ini dapat mengancam keberadaan dan kelangsunngan hidup bangsa dan negara. Sementara itu di Daerah Istimewa Aceh dan Provinsi Irian Jaya gejolak yang timbul lebih merupakan gerakan yang mengarah kepada separatisme. Otonomi Daerah dilaksanakan dalam wadah dan kerangka NKRI. Gejala-gejala di atas secara langsung maupun tidak membangkitkan skeptisisme, ketidakpercayaan dan antipati terhadap proses otonomi daerah sehingga proses otonomi daerah ibarat menantang arus. Bila arus skeptisisme, ketidakpercayaan dan antipati itu sedemikian kuat maka besar kemungkinan akan menghanyutkan proses dan realisasi otonomi daerah itu sendiri.

3) Kapasitas Administrasi Pemerintahan Daerah yang Belum Siap:

Pelimpahan hak, wewenang dan tanggungjawab pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah tersebut dapat dibaratkan penyerahan “cek kosong”. Pemerintah Pusat tidak lagi menetapkan prioritas, menyusun buku proram pembangunan serta petunjuk-petunjuk pelaksanaan seperti di masa REPELITA. Padahal kapasitas manajemen dan administrasi Pemerintah Daerah dinilai buruk dan tidak berkembang di masa pmerintahan-pemeritahan sebelumnya, dan Pemerintah Daerah masih wewariskan sistem dan sumberdaya manusia yang lama. Bagi daerah-daerah di pusat pertumbuhan yang cukup maju mungkin tidak terlampau sulit dengan mengerahkan sumberdaya manusia yang ada di daerahnya. Namun bagi daerah-daerah terpencil dan masih terbelakang hal itu menjadi masalah besar dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengantisipasinya. Hingga saat otomi daerah digulirkan pun daerah masih bergelut dengan masalah-masalah pokok dalam administrasi pembangunan seperti perumusan tugas pokok; perumusan fungsi; perumusan struktur organisasi; administrasi kepegawaian; administrasi keuangan; administrasi logistik; administrasi perkantoran; hubungan kerja; dan lain sebagainya (Siagian, 1995). Prasyarat otonomi/desentralisasi yang diajukan oleh Smith, 1979 juga masih relevan dipertanyakan, yaitu: mampukah menerima wewenang yang dilimpahkan; mampukah melaksanakan fungsi/tugas pemerintahan; mampukah melaksanakan bidang tugas administratif; dan mampukah mengumpulkan sumber pendapatan dari daerah. Dengan adanya otonomi daerah hal-hal di atas sebagian besar harus mulai lagi difikirkan dari awal dan sulit diperkirakan berapa lama bisa dituntaskan.

4) Paradigma Manajemen/Administrasi Pembangunan di Daerah Harus Berubah Secara Drastis:

Paradigma manajemen pembangunan di era otonomi daerah jauh berbeda dengan di masa-masa sebelumnya. Di masa lalu pemerintah daerah hanya memikirkan bagaimana distribusi proses pembangunan sampai kepada rakyat berdasarkan alokasi anggaran dari pusat, sementara masalah kebutuhan anggaran difikirkan oleh pusat. Sehingga paradigma yang terbentuk adalah pemerintah daerah sebagai administrator dan mengabdi kepada otoritas pusat. Pusat yang menilai benar-salahnya pemerintah daerah mengadministrasi pembangunan. Di era otonomi daerah, khususnya kota dan kabupaten yang menerima otonomi yang luas, pemerintah daerah harus memfungsikan manajemen pembangunan secara lengkap, mulai dari planning, staffing, directing, actuating, control and evaluation. Hal ini diisyaratkan oleh Hilhorst (1980) sebagai mampu merencanakan produksi barang dan jasa; mampu mengawasi dampak dari produksi barang dan jasa; dan mampu mendorong pembangunan daerah sesuai dengan sumber-sumber yang tersedia.

Di satu sisi pemerintah daerah dituntut kemampuannya untuk mengembangkan sumberdaya ekonomi yang ada di daerahnya sehingga mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang cukup memadai, di sisi lain pemerintah daerah juga di tuntut untuk mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya meliputi penyediaan lapangan kerja atau kesempatan berusaha, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang terjangkau oleh rakyat jelata, termasuk berbagai kemudahan dalam pelayanan-pelayanan publik. Jadi pemerintah daerah harus secara simultan menerapkan strategi pertumbuhan dan pemerataan (growth with equity) dengan basis ekonomi kerakyatan (peoples’ economy). Masalah yang dihadapi adalah mampukah pemerintah daerah dalam waktu yang relatif singkat merubah paradigma pemerintahan dan perilaku aparat yang government oriented menjadi public servant oriented; dari paradigma government spending economy ke paradigma government generating economy. Dengan kata lain mampu menerapkan kombinasi yang “pas” antara konsep entrepreneurship (kewirausahaan) daerah dengan konsep sistem kesejahteraan sosial (social welfare).

5) Sumberdaya Lokal yang Belum Memadai:

Sudah menjadi kenyataan bahwa sebagai akibat dari sentralisme pembangunan sejak masa penjajahan, masa Orde Lama, dan masa Orde Baru, terjadi dikotomi Jawa-Luar Jawa, Pusat-Daerah, Kota-Desa dalam hal sumberdaya lokal meliputi sumberdaya fisik dan sumberdaya manusianya. Hal ini menciptakan prakondisi yang beranekaragam bagi tiap daerah dalam mengawali proses otonominya. Perhitungan kasar menunjukan bahwa hanya empat propinsi yang kaya akan sumberdaya alam, yaitu Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Irian Jaya yang mampu mandiri dalam membiayai APBD-nya. Propinsi selebihnya membutuhkan subsidi berkisar 37,20% (Jawa Timur) sampai 91,65% (dahulu Timor Timur).

Jalan yang disarankan bagi daerah yang belum mampu mandiri adalah mengembangan kemitraan usaha (panership) antar pemerintah daerah (dalam wadah perusahaan milik daerah) dan dunia usaha atau sektor bisnis. Kendala yang dihadapi kemudian adalah sumberdaya manusia, karena daerah yang miskin hampir identik dengan sumberdaya manusia yang masih rendah kualitasnya. Selain itu modus operandi dari konsep kemitraan itu masih harus dicari karena praktis daerah-daerah yang miskin hanya mampu mengkontribusi mungkin lahan (yang belum siap pakai) dan tenaga kerja (yang mungkin belum terampil), belum lagi masalah-masalah gejolak sosial yang menggejala dan mengganggu aktivitas usaha. Dalam situasi seperti itu, adakah investor yang mau “menutup mata” dari segala resiko kehilangan investasinya sementara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang bersangkutan juga tidak bisa menjamin ?

Karena itu berkaitan dengan sumberdaya lokal daerah untuk berotonomi Smith (1979) mengajukan prasyarat yang perlu dipertanyakan lebih dahulu, yaitu: apakah kondisi wilayah mendukung; apakah besar anggaran belanja memadai; apakah ada/tidak ada/kurangnya ketergantungan keuangan dari luar; dan apakah potensi dan kualitas personil yang ada memadai.

6) Ancaman Globalisasi:

Tanpa ada pilihan lain Indonesia telah menyatakan keturutsertaannya dalam agenda globalisasi Asia-Pasific Free Trade Area (AFTA) Tahun 2003 dan menyongsong Globalisasi Tahun 2020. Hal itu sekali gus merupakan tantangan dan peluang bagi pemerintah daerah dalam konteks otonomi daerah. Tapi tidak kecil pula pula ancaman yang mungkin ditimbulkan khususnya bagi daerah-daerah yang masih lemah kemandirian ekonominya.

Ancaman di atas justru berakar dari sistem dan praktek perekonomian yang dianut sebelumnya, yang sarat dengan sistem subsidi yang berasal dari sektor sumberdaya alam (khususnya minyak bumi dan hutan) ke sektor-sektor lainnya (khususnya sektor pertanian). Di sisi lain melimpahnya dana dari minyak bumi dan hutan telah menyuburkan pula birokrasi ekonomi yang tidak efisien termasuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang bermuara pada ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Walhasil fenomena yang terjadi adalah lemahnya daya saing produk dan jasa yang dihasilkan Indonesia hampir di semua sektor. Masih bisa di ingat, manakala ekspor sumberdaya minyak dan gas bumi mulai merosot, muncul skenario ekspor non-migas. Namun kemudian diterima kenyataan bahwa komoditi-komoditi ekpor Indonesia bermutu jauh di bawah standar dan harganya tidak mampu bersaing di pasar internasional. Di era otonomi daerah, meningkatkan efisiensi produksi yang berdaya saing tinggi praktis harus difikirkan oleh pemerintah daerah, termasuk pula sebagian dari sistem dan proses dari rantai tataniaga, yang keduanya sudah sangat terbiasa (terbudaya; internalized) dengan subsidi dan KKN di sana-sini. Pertanyaanya, kendatipun mempunyai peluang untuk memanfaatkan globalisasi dan perdagangan bebas, mampukah pemerintah daerah, dengan segala kelemahan yang telah diuraikan pada butir 1) sampai dengan 5) di atas dan dalam waktu yang harus relatif singkat, mempersaingkan produk-produk daerahnya di pasar internasional ? Untuk dipertanyakan saja visi mengenai hal ini kepada rata-rata Walikota dan Bupati yang ada, rasanya masih cukup berat.

Kesimpulan

· Agar suatu daerah dapat berotonomi dengan baik diperlukan beberapa prasyarat, yaitu prasyarat dari aspek pemerintahan, manajerial, dan potensi daerah.

· Undang-undang Otonomi Daerah dan proses otonomi daerah di Indonesia relatif masih merupakan hal yang baru dan belum tersosialisasi dengan matang. Undang-undangnya itu sendiri baru merupakan dokumen kesepakatan politik yang dalam implementasinya masih dapat dinterpretasikan berbeda-beda. Daerah-daerah yang kaya cendrung menginterpretasikan sebagai kebebasan yang luas, yang menjurus kepada faham federalisme. Daerah-daearah yang miskin cendrung membuat interpretasi tidak jauh dari sistem desentralisasi terbatas seperti di masa lalu.

· Masalah-masalah ketidakpuasan daerah yang sudah kronis sebagai akibat dari sistem sentralisasi Orde Lama dan Orde Baru, serta gagalnya dicapai kesefahaman dan kesepakatan terhadap interpretasi Undang-undang Otonomi Daerah, peraturan-peraturan pelaksanaannya serta implementasinya di lapangan, dapat mengancam eksistensi NKRI bahkan dapat menjurus kepada pemisahan diri (separatisme) khususnya bagi daerah-daerah yang kaya.

· Hingga proses otonomi daerah digulirkan sebagian besar daerah khususnya di luar Jawa masih bergelut dalam masalah-masalah klasik administrasi pembangunan dan pemerintahan seperti perumusan tugas pokok; perumusan fungsi; perumusan struktur organisasi; administrasi kepegawaian; administrasi keuangan; administrasi logistik; administrasi perkantoran; hubungan kerja; dan lain sebagainya. Berbagai prasyarat dari aspek pemerintahan, manajerial, dan potensi daerah juga masih perlu dipertanyakan. Karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa proses otonomi daerah sulit dikatakan dapat berjalan mulus seperti yang diharapkan oleh Pemerintah pusat.

· Karena harapan, kesejahteraan dan kepuasan pelayanan rakyat sekarang lebih bertumpu kepada pemerintah daerah, maka paradigma manajemen/administrasi pembangunan dan pemerintahan di daerah harus berubah secara drastis. Di satu sisi manajemen pemerintah daerah harus mampu mengembangan potensi ekonomi daerah (bervisi entrpreneurship), di sisi lain harus mampu secara serta merta membangun kesejahteraan rakyat secara merata atau mengadopsi strategi development with equity, di sisi lain harus pula merubah orientasi dari orientasi “pemerintah” (government oriented) menjadi orientasi “pelayan masyarakat” (public servant oriented).

· Sumberdaya lokal untuk modal awal berotonomi secara potensial ada, namun masih mengandung berbagai potensi masalah. Daerah-daerah yang kaya sekalipun seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Irian Jaya masih menghadapi masalah khususnya potensi sumberdaya manusia. Terlebih pada daerah-daerah yang miskin dan daerah yang selama ini hidup dari subsidi Pemerintah Pusat. Di sisi lain saran hubungan kemitraan antara daerah yang kaya dengan daerah miskin masih harus menemukan konsep operasionalnya dan melampaui uji coba yang panjang.

· Sementara eksperimen otonomi daerah sedang berjalan, globalisasi sudah di ambang pintu. Beberapa indikator menunjukan bahwa daya saing harga berbagai komoditi Indonesia masih lemah di pasar internasional dan hidup dari proteksi dan subsidi pemerintah. Hal itu disebabkan oleh belum efisiennya sistem produksi dan tataniaga disamping potensi sumberdaya manusia Indonesia juga rekatif belum siap menghadapi globalisasi.

REFERENSI

--------------- (1999)

Ketetapan-ketetapan MPR-RI dan GBHN 1999-2004. CV Tamita Utama, Jakarta

--------------- (1999)

Undang-undang Otonomi Daerah 1999. Aneka Ilmu, Semarang.

--------------- (1999)

Gambaran Umum tentang Rancangan Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2001-2005. BAPPENAS.

Siagian, S.P. (1995)

Administrasi Pembangunan. PT Gunung Agung, Jakarta.

Syafrudin, A. (2000)

Langkah-langkah Reformasi Otonomi Daerah. Universitas Pasundan & BAPPENAS.

HUBUNGAN KEMITRAAN SEBAGAI STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA

HUBUNGAN KEMITRAAN SEBAGAI STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA

Oleh

Julissar An-Naf


SUMMARY

Partnership is a form of cooperation among actors (enterprises) in business sectors: government, private, including cooperative sectors, in which each actor gains benefit from the scheme, as well as business activity as a whole should also be profitable.

Partner relationship among large, medium, and small business units is considered as the most suitable form in accord with the ideas of Chapter 33rd of the 1945 Basic Constitution of the Republic of Indonesia. In order to get a more operational form for the implementation, a new law was launched namely Law of Republic of Indonesia Number 9, Year 1995 concerning Small Business or well known as the Partnership Law.

Due to involvement of strong economic groups and economically weak groups in the same area and field of competition, the government intervention is required. The task of government according to the Partnership Law is creating favorable business climate, including giving financial assistance, infrastructures, information, business permit, partnership linkage, fair atmosphere for competition, as well as necessary protection.

In fact, the spirit of Chapter 33rd of the 1945 Basic Constitution of the Republic of Indonesia as well as the Partnership Law is in line with universal principles, convened by the International Cooperative Alliance (ICA) conference at Stockholm in 1988, which reflects a growing attention to the cooperative and partnership values as stimulating power for cooperatives and business enterprises in general.

Technically, partner relationship can be carried out through nucleus-plasma relationship, sub-contracting, trading, franchise/licensing, sub-distributing, and other forms.

By the above partnership pattern and relationship some aggregate amount of added values or profit margins from the business system can simultaneously and proportionally or properly be distributed to the actors in respective business linkage and cycles hence improves and betters the terms of trade among the business

PENGANTAR

Istilah “kemitraan” direaktualisasi oleh Presiden Suharto dalam berbagai kesempatan mengarahkan kerjasama antara sektor-sektor perekonomian: “pemerintah (BUMN), swasta, dan koperasi” khususnya antara konglomerat dan pengusaha kecil serta koperasi (masih bisa diingat himbauannya tentang pemilikan 5% saham perusaha oleh koperasi, pengalokasian 20% kredit pada koperasi dan pengusaha kecil, pengalokasian 5% keuntungan BUMN pada koperasi dan pengusaha kecil; Kelompok dan Deklarasi Jimbaran). Istilah kemitraan atau partnership itu sendiri sesungguhnya tidak terlalu asing bagi telinga kita. Karena itu merupakan bentuk ungkapan lain dari kata “gotong royong”, “kerjasama”, “ko-operasi”, senafas dengan “asas kekeluargaan” yang dimaksud oleh Pasal 33 (1) UUD 1945.

Untuk lebih membumikan Pasal 33 UUD 1945 di atas maka pada tahun 1995 diundangkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil atau dikenal secara populer sebagai Undang-undang Kemitraan. Undang-undang ini memberi dasar hukum (legality) bagi pemberdayaan usaha kecil. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa “dalam pembangunan nasional, usaha kecil sebagai bagian integral dunia usaha yang merupakan kegiatan ekonomi rakyat mempunyai kedudukan, potensi dan peran yang strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional yang makin seimbang berdasarkan demokrasi ekonomi”. Karena itu “usaha kecil perlu lebih diberdayakan dalam memanfaatkan peluang usaha dan menjawab tantangan ekonomi di masa yang akan datang”. Peran pemerintah dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa “pemerintah mempunyai kewajiban untuk menumbuhkan iklim usaha bagi usaha kecil melalui penerapan perundang-undangan dan kebijaksanaan meliputi aspek pendanaan, persaingan, prasarana, informasi, kemitraan, perizinan usaha, dan perlindungan. Selanjutnya diperjelas pula dengan apa yang dimaksud dengan hubungan kemitraan yaitu “Usaha menengah dan usaha besar melaksanakan hubungan kemitraan dengan usaha kecil, baik yang memiliki maupun yang tidak memiliki keterkaitan usaha”. “Pelaksanaan hubungan kemitraan diupayakan ke arah terwujudnya keterkaitan usaha”. “Kemitraan dilaksanakan dengan disertai pembinaan dan pengembangan dalam salah satu atau lebih bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumberdaya manusia, dan teknologi”. Kemitraan dapat dilaksanakan dengan pola-pola inti-plasma, subkontrak, dagang umum, waralaba, keagenan, dan bentuk-bentuk lainnya (Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, Biro Hukum dan Organisasi, 1995).

Namun penerapan hubungan kemitraan tidak demikian mulus karena prinsip-prinsip kemitraan tersebut dihadapkan pada paradigma ekonomi yang penuh dengan konflik kepentingan antar sektor maupun antar pelaku ekonomi itu sendiri. Penghayatan dan pengamalan Pasal 33 UUD 1945 itu sendiri di kalangan para pelaku pada sektor-sektor perekonomian masih perlu dipertanyakan. Selain itu peraturan-peraturan yang masih bersifat sektoral dan departemental belum secara integral mengatur mekanisme yang mengarah kepada terwujudnya hubungan kemitraan tersebut. Demikian pula dengan kelembagaan-kelembagaan yang ekonomi yang ada, belum sepenuhnya mempunyai visi dan misi yang sejalan ke arah terwujudnya hubungan kemitraan. Karena itu asas-asas dan prinsip-prinsip kemitraan dalam sistim perekonomian kita masih perlu terus dieksplorasi, direkayasa, dan dieksperimentasikan. Lebih-lebih setelah kita dilanda krisi ekonomi dan moneter akhir-akhir ini. Terbukti bahwa paradigma “ekonomi pasar bebas” bukanlah sesuatu yang bisa menjawab seluruh problema pembangunan ekonomi kita. Agaknya kita perlu lebih menyakini bahwa Pasal 33 UUD 1945 bila dilaksanakan secara murni dan konsekuen akan lebih menghasilkan sistim perekonomian yang tangguh dalam menghadapi masalah-masalah ekonomi di dalam negeri maupun menghadapi globalisasi ekonomi sekalipun.

Berdasarkan pemikiran di atas, untuk sementara dan secara umum bisa kita buat batasan bahwa:

“Kemitraan adalah kerjasama antara pelaku-pelaku (badan usaha) pada sektor-sektor usaha pemerintah, swasta termasuk koperasi dengan mengutamakan keuntungan para pelakunya secara keseluruhan sebagai satu kesatuan sistem usaha”.

Seandainya kita mampu menetapkan asas-asas dan prinsip-prinsip kemitraan serta merekayasa model-modelnya, maka tugas selanjutnya mengimplementasikan asas, prinsip

dan model tersebut ke struktur organisasi usaha.

AZAS DAN PRINSIP-PRINSIP KEMITRAAN

Tentunya kita wajib terus menghayati dan mengamalkan Pasal 33 UUD 1945:

(1)

Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasak atas asas kekeluargaan;

maupun ayat-ayat selanjutnya

(2)

(3)

Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasi oleh negara;

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikusai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Selanjutnya dalam penjelasan pasal di atas dikemukakan bahwa:

Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas-asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi.

Perekonomian berdasar atas demokrasoi, kemakmuran bagi semua orang ! Sebab itu cabang-cabang produksiyang penting bagi negara dan menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya.

Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang seorang.

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya di atas sengaja dikutip secara lengkap untuk mengingatkan kita bahwa, itulah “paradigma” yang harus dilihat sebagai kesatuan yang utuh dengan persepsi, visi, dan misi yang sama. Pengertian “Bangun Usaha Koperasi” jangan hanya dilihat sebagai bentuk institusional perusahaan (seperti diistilahkan dengan sektor koperasi), akan tetapi harus dilihat sebagai suatu idiologi yang memiliki suatu sistem dan mekanisme yang mengatur tata hubungan dan interaksi antara pelaku-pelaku dalam sektor perekonomian (BUMN, swasta dan koperasi) pada berbagai tingkatan dan skala ekonomi. Tujuannya adalah tercapainya efisiensi dan maksimalisasi ekonomi pada sistem perekonomian secara keseluruhan (makro-ekonomi). Walaupun efisiensi dan maksimalisasi menurut kaidah-kaidah makro-ekonomi dari sektor per sektor atau antar para pelakunya harus dapat terkendali (optimalisasi). Kita percaya bahwa efisiensi dan maksimalisasi pada skal makro-ekonomi itulah yang mewujudkan keunggulan komparatif kita dalam menghadapi persaingan ekonomi global. Di situlah mungkin konsep kemitraan bisa lebih difahami dalam konteks pembangunan ekonomi.

Sehubungan dengan upaya membumikan prinsip-prinsip kemitraan, tepat rasanya dikemukakan kembali hasil kongres International Cooperative Alliance (ICA) di Stockholm tahun 1988 yang mereflesikan tumbuhnya perhatian terhadap nilai-nilai kerjasama atau kemitraan (cooperative values) sebagai kekuatan pendorong bagi organisasi koperasi maupun organisasi usaha pada umumnya. Nilai-nilai tersebut adalah:

· self-help values (activity, creativity, responsibility, independence,

do-it-yourself);

· mutual-help values (cooperation, unity, collective, action solidarity);

· non-profit interest values (resource consevation, elimination of profit as driving force, social responsibility, utilitarian goals, ‘not profiting from others’ work’);

· democratic values (equality, participation, equity);

· voluntary effort values (commitment, creative power, independence, pluralism);

· education values (knowledge, understanding, insight);

· universal values (global perspective, openness);

Self-helf values atau “nilai-nilai menolong diri sendiri” (kegiatan/bergiat, kreatifitas, tanggung jawab, bebas menentukan, ‘kerjakan sendiri’) merupakan nilai-nilai dasar yang harus dimiliki oleh unsur mitra. Nilai-nilai ini merupakan pula nilai-nilai dasar dan kewirausahaan (entrepreneurship). Mutual-help values atau nilai-nilai “nilai-nilai tolong menolong” (kerjasama, persatuan, aksi bersama, solidaritas) juga merupakan nilai-nilai yang dihayati dan diamalkan sebagai salah satu syarat terwujudnya hubungan kemitraan. Non-profit interst values atau nilai-nilai tidak selalu mengutamakan menguntungkan (pelestarian/penghematan sumberdaya, mengecualikan keuntungan sebagai satu-satunya kekuatan pendorong, tanggung jawab sosial, tujuan-tujuan yang bermanfaat, “tidakmengambil keuntungan dari hasil kerja orang lain) dapat dikatakan “etika usaha” (business etics) yang harus dimiliki unsur mitra. Demotratic values atau “nilai-nilai demokrasi” (kesamaan derajat, pertisipasi, urunan modal) juga harus dimiliki unsur mitra sehingga terwujud hubungan yang “simetrik” antara yang bermodal kuat dan yang bermodal lemah. Voluntary-effort values atau ‘nilai-nilai kerelawanan” (komitmen, kekuasaan yang kreatif, kebebasan untuk membantu, tidak membeda-bedakan atas dasar primordial tertentu) juga sangat penting dimiliki oleh unsur mitra. Education values atau “nilai-nilai mendidik” (pengetahuan, pemahaman/keterampilan, daya nalar atau pandangan ke depan) adalah nilai-nilai yang harus dimiliki sekaligus disemaikan di kalangan unsur mitra. Akhirnya universal values atau “nilai-nilai universal” (berpandangan luas, keterbukaan) juga merupakan persyaratan kemitraan.

PROTOTIPE MODEL KEMITRAAN

Beberapa waktu yang lalu kita tidak asing dengan istilah “sistem perkebunan inti (-plasma)” yang pada dasarnya berupaya mengintegrasikan secar vertikal maupun horizontal antara sektor perdagangan (termasuk pemasaran dan distribusi), sektor industri pengolahan, dan sektor produksi primer. Kendala yang dihadapi adalah secara eksternal prospek ekspor komoditi perkebunan kurang cerah di pasaran dunia (atau mungkin tingkat persaingan kita lemah karena faktor-faktor internal). Salah satu isu dan kritik terhadap faktor internal itu sendiri, sistem perkebunan inti dinilai belum mampu menemukan model kemitraan yang kuat terutama karena manajemen perkebunan umumnya masih mewarisi sistem kolonial. Namun demikian sistem perkebunan inti ini bisa kita catat sebagai model yang prospektif untuk dikembangkan.

Pemerintah juga pernah mencanangkan pola kemitraan ‘bapak-anak angkat”

antara industri besar dan industri kecil. Pola hubungan ini dapat dibagi menjadi “keterkaitan langsung” (direct economic linkages) dalam bentuk “subkontrak”. Pola lain adalah hubungan “keterkaitan tidak langsung” (indirect economic linkages) di mana industri besar membantu industri kecil yang produknya diluar “bisnis utama” (line of business) industri besar. Dalam hal ini berupa hubungan dagang (pemasaran, pengadaan kebutuhan operasional) dan pembinaan (Rustiani dan Maspiyati 1996: 130). Namun mengenai pola hubungan pembinaan, mungkin perlu dikesampingkan secara tersendiri karena inilah mungkin pola hubungan “bapak-anak angkat” yang murni, yang didasari oleh semangat kemitraan yang tinggi.

Model yang kelihatannya applicable untuk diterapkan dalam pengembangan usaha agribisnis adalah yang berpola direct economic linkages atau subkontrak (produksi) dan indirect economic linkages (kontrak perdagangan). Pola hubungan “kontrak perdagangan” tidak terlalu kompleks untuk diterapkan karena hanya merupakan wujud yang lebih formal dari transaksi dagang sepanjang saling ada kebutuhan. Tapi pola hubungan “subkontrak” lebih menarik untuk didalami karena ada unsur “desentralisasi produksi” yang membutuhkan pengorganisasian dan kerjasama teknis.

Ada beberapa definisi tentang subkontrak (lihat Rustiani dan Maspiyati 1996: 12-13):

“Subkontrak adalah keadaan dimana sebuah perusahaan induk, dari pada melakukan pekerjaan sendiri, memesan pada sebuah perusahaan independen lainya untuk melakukan seluruh atau sebagian dari sebuah order yang telah diterima, dengan tetap bertanggung jawab untuk pekerjaan tersebut terhadap sipembeli” (Watanabe, 1972).

“Hubungan subkontrak terdapat di mana sebuah perusahaan (pihak prinsipal) memberi pesanan kepada pihak lain (subkontraktor) untuk menghasilkan bagian-bagian, komponen-komponen, subassemblies atau assemblies untuk diintegrasikan ke dalam suatu produk yang akan dipasarkan oleh pihak prinsipal” (UNIDO, 1974).

Dalam implementasinya, subkontrak bisa dibeda-bedakan menurut jenisnya (Dicken, 1986 di dalam Rutiyani dan Maspiyati, 1996: 14):

Subkontrak Industrial:

Mengerjakan proses-proses tertentu, atau menghasilkan komponen-komponen tertentu (tetapi bukan barang jadi) yang akan diolah lebih lanjut oleh pihak pemesan. Dalam hal ini bisa berupa subkontrak komponen dan subkontrak proses.

Subkontrak Komersial:

Mengerjakan/menghasilkan barang jadi yang tinggal dipasarkan oleh pihak pemesan. Dalam hal ini umumnya pihak prinsipal bukanlah suatu industri manufatur, tapi lebih merupakan perusahaan dagang.

Perlu juga dikemukakan bahwa pengalihan proses produksi melalui hubungan subkontrak ini kenyataannya tidak berhenti dari satu prinsipal kepada satu subkontrak dan dalam satu jenis hubungan subkontrak, melainkan bisa terjadi dalam rangkaian kegiatan yang cukup kompleks. Tingkat-tingkat yang ada dalam sistem subkontrak mempunyai implikasi tertentu pada setiap aktor yang berada pada posisi masing-masing. Artinya, tingkatan subkontrak itu berpengaruh terhadap peluang usaha kecil untuk mengembangkan dirinya (Rustiani dan Maspiyati 1996: 15).

UKURAN KEBERHASILAN HUBUNGAN KEMITRAAN

Kemitraan pada dasarnya adalah suatu konsep kerjasama ekonomi yang menganut paradigma “pertumbuhan dengan pemerataan” (growth with equity) yang berlangsungg secara serempak (simultaneous). Dalam pengertian yang lebih teknis, sejumlah agregat nilai tambah (added values) atau keuntungan (profitability) dari suatu sistem usaha dengan serta merta terdistribusikan secara “proporsional” (adil) kepada unsur-unsur pelakunya pada setiap rantai dan siklus usaha. Ada ukuran atau indikator penting untuk melihat apakah sistem kemitraan tersebut bisa berlangsung (viable) secara ekonomi. Pertama, profit-margin sebagai indikator mikro dan kedua terms of trade sebagai indikator makro.

Profit-margin adalah fungsi dari modal dan produktivitas. Secara logis, kepuasan akan dicapai bila nilai profit-margin memadai dibandingkan dengan pegorbanan (modal dan produktivitas) yang diberikan. Di sisi lain ada harga (price). Harga itu sendiri berbanding lurus dengan profit-margin. Dengan kata lain, semakin tinggi harga akan semakin tinggi profit-margin. Sedangkan kita ketahui bahwa mekanisme penetapan harga kerap kali ditentukan oleh sektor-sektor produksi sekunder dan seterusnya serta sektor perdagangan dan jasa, ketimbang sektor produksi primer. Kita ketahui bersama bahwa posisi tawar-menawar (bergaining position) dari sektor produksi primer umumnya lemah. Karena mereka dihadapkan pada pilihan resiko “menjual pada tingkat harga berapapun atau tidak memperoleh apa-apa” atau ”tidak berproduksi dan tidak memperoleh apa-apa”. Resiko ini tidak mutlak pada sektor-sektor sekunder karena umumnya mereka lebih banyak memiliki alternatif usaha. Karena itu dengan menerapkan asas dan prinsip kemitraan di atas, mekanisme penetapan harga bisa dikendalikan bersama dan nilai tambah dan keuntungan bisa terdistribusi secara “proporsional dan adil” sehingga sistem usaha secara keseluruhan bisa berkembang dan langgeng (sustainable).

Terms of trade dalam hal ini adalah “perbandingan antara harga indeks yang diterima produsen dari kegiatan produksinya dengan harga indeks barang-barang konsumsi yang harus dibayar oleh produsen tersebut”. Terms of trade ini dikatakan baik bila meningkat dari waktu ke waktu atau “proporsional/optimal” antara sektor. Adapun yang dimaksud dengan sektor disini adalah sektor-sektor produksi, perdagangan dan jasa dalam struktur ekonomi maupun sektor industri dan perdagangan secara keseluruhan (lihat Singer 1989).

BUTIR-BUTIR KESIMPULAN

1. Kemauan politik (political will) dari pemerintah untuk mengimplementasikan hubungan kemitraan antara berbagai pelaku dan tingkatan dalam sektor perekonomian Indonesia sesunggunhnya sudah sejak lama dicanangkan.

2. Pasal 33 UUD 1945 sendiri sesungguhnya mengamanatkan bahwa hubungan kemitraan adalah bentuk yang paling ideal dari sistem perekonomian Indonesia.

3. Nilai-nilai kemitraan (cooperative values) itu sendiri telah diyakini secara universal mampu memecahkan berbagai problem ekonomi.

4. hubungan kemitraan akan mampu sekaligus mewujudkan pertumbuhan yang disertai dengan pemerataan (growth with equity) pada berbagai sektor dan tingkatan sehingga bisa merupakan synergy dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan sekaligus membuat keberlangsungan perekonomian lebih langgeng (sustainable).

5. Model-model hubungan kemitraan sesungguhnya sudah mulai dirintis seperti sistem perkebunan inti (-plasma), sistem “bapak-anak” angkat, sistim subkontrak; tinggal diimplementasi dengan menerapkan asas dan prinsip-prinsipnya dan dengan komitmen yang penuh.

REFERENSI

Departemen Penerangan Republik Indonesia (1980) Dekrit Presiden 5 Juli, Undang-undang Dasar 1945, Piagam Jakarta. Jakarta, Simplex

Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, Biro Hukum dan Organisasi (1995). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.

Marcus, L (ICA President) “Cooperative and Basic Values” (Mimeo).

Rustiani, F. dan Maspiyati. (1996) Usaha Rakyat Dalam Pola Desentralisasi Produksi dan Subkontrak. Bandung, Yayasan AKATIGA.

Singer, H.W. (1989) The Relation BetweenDebt Pessures. Adjustmen policies and Deterioration of Terms of Trade for Developing Countries. Institut of Social Studies (ISS) Working Paper, No.59, July 1989.