Thursday, August 30, 2007

HUBUNGAN KEMITRAAN SEBAGAI STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA

HUBUNGAN KEMITRAAN SEBAGAI STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA

Oleh

Julissar An-Naf


SUMMARY

Partnership is a form of cooperation among actors (enterprises) in business sectors: government, private, including cooperative sectors, in which each actor gains benefit from the scheme, as well as business activity as a whole should also be profitable.

Partner relationship among large, medium, and small business units is considered as the most suitable form in accord with the ideas of Chapter 33rd of the 1945 Basic Constitution of the Republic of Indonesia. In order to get a more operational form for the implementation, a new law was launched namely Law of Republic of Indonesia Number 9, Year 1995 concerning Small Business or well known as the Partnership Law.

Due to involvement of strong economic groups and economically weak groups in the same area and field of competition, the government intervention is required. The task of government according to the Partnership Law is creating favorable business climate, including giving financial assistance, infrastructures, information, business permit, partnership linkage, fair atmosphere for competition, as well as necessary protection.

In fact, the spirit of Chapter 33rd of the 1945 Basic Constitution of the Republic of Indonesia as well as the Partnership Law is in line with universal principles, convened by the International Cooperative Alliance (ICA) conference at Stockholm in 1988, which reflects a growing attention to the cooperative and partnership values as stimulating power for cooperatives and business enterprises in general.

Technically, partner relationship can be carried out through nucleus-plasma relationship, sub-contracting, trading, franchise/licensing, sub-distributing, and other forms.

By the above partnership pattern and relationship some aggregate amount of added values or profit margins from the business system can simultaneously and proportionally or properly be distributed to the actors in respective business linkage and cycles hence improves and betters the terms of trade among the business

PENGANTAR

Istilah “kemitraan” direaktualisasi oleh Presiden Suharto dalam berbagai kesempatan mengarahkan kerjasama antara sektor-sektor perekonomian: “pemerintah (BUMN), swasta, dan koperasi” khususnya antara konglomerat dan pengusaha kecil serta koperasi (masih bisa diingat himbauannya tentang pemilikan 5% saham perusaha oleh koperasi, pengalokasian 20% kredit pada koperasi dan pengusaha kecil, pengalokasian 5% keuntungan BUMN pada koperasi dan pengusaha kecil; Kelompok dan Deklarasi Jimbaran). Istilah kemitraan atau partnership itu sendiri sesungguhnya tidak terlalu asing bagi telinga kita. Karena itu merupakan bentuk ungkapan lain dari kata “gotong royong”, “kerjasama”, “ko-operasi”, senafas dengan “asas kekeluargaan” yang dimaksud oleh Pasal 33 (1) UUD 1945.

Untuk lebih membumikan Pasal 33 UUD 1945 di atas maka pada tahun 1995 diundangkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil atau dikenal secara populer sebagai Undang-undang Kemitraan. Undang-undang ini memberi dasar hukum (legality) bagi pemberdayaan usaha kecil. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa “dalam pembangunan nasional, usaha kecil sebagai bagian integral dunia usaha yang merupakan kegiatan ekonomi rakyat mempunyai kedudukan, potensi dan peran yang strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional yang makin seimbang berdasarkan demokrasi ekonomi”. Karena itu “usaha kecil perlu lebih diberdayakan dalam memanfaatkan peluang usaha dan menjawab tantangan ekonomi di masa yang akan datang”. Peran pemerintah dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa “pemerintah mempunyai kewajiban untuk menumbuhkan iklim usaha bagi usaha kecil melalui penerapan perundang-undangan dan kebijaksanaan meliputi aspek pendanaan, persaingan, prasarana, informasi, kemitraan, perizinan usaha, dan perlindungan. Selanjutnya diperjelas pula dengan apa yang dimaksud dengan hubungan kemitraan yaitu “Usaha menengah dan usaha besar melaksanakan hubungan kemitraan dengan usaha kecil, baik yang memiliki maupun yang tidak memiliki keterkaitan usaha”. “Pelaksanaan hubungan kemitraan diupayakan ke arah terwujudnya keterkaitan usaha”. “Kemitraan dilaksanakan dengan disertai pembinaan dan pengembangan dalam salah satu atau lebih bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumberdaya manusia, dan teknologi”. Kemitraan dapat dilaksanakan dengan pola-pola inti-plasma, subkontrak, dagang umum, waralaba, keagenan, dan bentuk-bentuk lainnya (Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, Biro Hukum dan Organisasi, 1995).

Namun penerapan hubungan kemitraan tidak demikian mulus karena prinsip-prinsip kemitraan tersebut dihadapkan pada paradigma ekonomi yang penuh dengan konflik kepentingan antar sektor maupun antar pelaku ekonomi itu sendiri. Penghayatan dan pengamalan Pasal 33 UUD 1945 itu sendiri di kalangan para pelaku pada sektor-sektor perekonomian masih perlu dipertanyakan. Selain itu peraturan-peraturan yang masih bersifat sektoral dan departemental belum secara integral mengatur mekanisme yang mengarah kepada terwujudnya hubungan kemitraan tersebut. Demikian pula dengan kelembagaan-kelembagaan yang ekonomi yang ada, belum sepenuhnya mempunyai visi dan misi yang sejalan ke arah terwujudnya hubungan kemitraan. Karena itu asas-asas dan prinsip-prinsip kemitraan dalam sistim perekonomian kita masih perlu terus dieksplorasi, direkayasa, dan dieksperimentasikan. Lebih-lebih setelah kita dilanda krisi ekonomi dan moneter akhir-akhir ini. Terbukti bahwa paradigma “ekonomi pasar bebas” bukanlah sesuatu yang bisa menjawab seluruh problema pembangunan ekonomi kita. Agaknya kita perlu lebih menyakini bahwa Pasal 33 UUD 1945 bila dilaksanakan secara murni dan konsekuen akan lebih menghasilkan sistim perekonomian yang tangguh dalam menghadapi masalah-masalah ekonomi di dalam negeri maupun menghadapi globalisasi ekonomi sekalipun.

Berdasarkan pemikiran di atas, untuk sementara dan secara umum bisa kita buat batasan bahwa:

“Kemitraan adalah kerjasama antara pelaku-pelaku (badan usaha) pada sektor-sektor usaha pemerintah, swasta termasuk koperasi dengan mengutamakan keuntungan para pelakunya secara keseluruhan sebagai satu kesatuan sistem usaha”.

Seandainya kita mampu menetapkan asas-asas dan prinsip-prinsip kemitraan serta merekayasa model-modelnya, maka tugas selanjutnya mengimplementasikan asas, prinsip

dan model tersebut ke struktur organisasi usaha.

AZAS DAN PRINSIP-PRINSIP KEMITRAAN

Tentunya kita wajib terus menghayati dan mengamalkan Pasal 33 UUD 1945:

(1)

Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasak atas asas kekeluargaan;

maupun ayat-ayat selanjutnya

(2)

(3)

Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasi oleh negara;

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikusai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Selanjutnya dalam penjelasan pasal di atas dikemukakan bahwa:

Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas-asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi.

Perekonomian berdasar atas demokrasoi, kemakmuran bagi semua orang ! Sebab itu cabang-cabang produksiyang penting bagi negara dan menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya.

Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang seorang.

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya di atas sengaja dikutip secara lengkap untuk mengingatkan kita bahwa, itulah “paradigma” yang harus dilihat sebagai kesatuan yang utuh dengan persepsi, visi, dan misi yang sama. Pengertian “Bangun Usaha Koperasi” jangan hanya dilihat sebagai bentuk institusional perusahaan (seperti diistilahkan dengan sektor koperasi), akan tetapi harus dilihat sebagai suatu idiologi yang memiliki suatu sistem dan mekanisme yang mengatur tata hubungan dan interaksi antara pelaku-pelaku dalam sektor perekonomian (BUMN, swasta dan koperasi) pada berbagai tingkatan dan skala ekonomi. Tujuannya adalah tercapainya efisiensi dan maksimalisasi ekonomi pada sistem perekonomian secara keseluruhan (makro-ekonomi). Walaupun efisiensi dan maksimalisasi menurut kaidah-kaidah makro-ekonomi dari sektor per sektor atau antar para pelakunya harus dapat terkendali (optimalisasi). Kita percaya bahwa efisiensi dan maksimalisasi pada skal makro-ekonomi itulah yang mewujudkan keunggulan komparatif kita dalam menghadapi persaingan ekonomi global. Di situlah mungkin konsep kemitraan bisa lebih difahami dalam konteks pembangunan ekonomi.

Sehubungan dengan upaya membumikan prinsip-prinsip kemitraan, tepat rasanya dikemukakan kembali hasil kongres International Cooperative Alliance (ICA) di Stockholm tahun 1988 yang mereflesikan tumbuhnya perhatian terhadap nilai-nilai kerjasama atau kemitraan (cooperative values) sebagai kekuatan pendorong bagi organisasi koperasi maupun organisasi usaha pada umumnya. Nilai-nilai tersebut adalah:

· self-help values (activity, creativity, responsibility, independence,

do-it-yourself);

· mutual-help values (cooperation, unity, collective, action solidarity);

· non-profit interest values (resource consevation, elimination of profit as driving force, social responsibility, utilitarian goals, ‘not profiting from others’ work’);

· democratic values (equality, participation, equity);

· voluntary effort values (commitment, creative power, independence, pluralism);

· education values (knowledge, understanding, insight);

· universal values (global perspective, openness);

Self-helf values atau “nilai-nilai menolong diri sendiri” (kegiatan/bergiat, kreatifitas, tanggung jawab, bebas menentukan, ‘kerjakan sendiri’) merupakan nilai-nilai dasar yang harus dimiliki oleh unsur mitra. Nilai-nilai ini merupakan pula nilai-nilai dasar dan kewirausahaan (entrepreneurship). Mutual-help values atau nilai-nilai “nilai-nilai tolong menolong” (kerjasama, persatuan, aksi bersama, solidaritas) juga merupakan nilai-nilai yang dihayati dan diamalkan sebagai salah satu syarat terwujudnya hubungan kemitraan. Non-profit interst values atau nilai-nilai tidak selalu mengutamakan menguntungkan (pelestarian/penghematan sumberdaya, mengecualikan keuntungan sebagai satu-satunya kekuatan pendorong, tanggung jawab sosial, tujuan-tujuan yang bermanfaat, “tidakmengambil keuntungan dari hasil kerja orang lain) dapat dikatakan “etika usaha” (business etics) yang harus dimiliki unsur mitra. Demotratic values atau “nilai-nilai demokrasi” (kesamaan derajat, pertisipasi, urunan modal) juga harus dimiliki unsur mitra sehingga terwujud hubungan yang “simetrik” antara yang bermodal kuat dan yang bermodal lemah. Voluntary-effort values atau ‘nilai-nilai kerelawanan” (komitmen, kekuasaan yang kreatif, kebebasan untuk membantu, tidak membeda-bedakan atas dasar primordial tertentu) juga sangat penting dimiliki oleh unsur mitra. Education values atau “nilai-nilai mendidik” (pengetahuan, pemahaman/keterampilan, daya nalar atau pandangan ke depan) adalah nilai-nilai yang harus dimiliki sekaligus disemaikan di kalangan unsur mitra. Akhirnya universal values atau “nilai-nilai universal” (berpandangan luas, keterbukaan) juga merupakan persyaratan kemitraan.

PROTOTIPE MODEL KEMITRAAN

Beberapa waktu yang lalu kita tidak asing dengan istilah “sistem perkebunan inti (-plasma)” yang pada dasarnya berupaya mengintegrasikan secar vertikal maupun horizontal antara sektor perdagangan (termasuk pemasaran dan distribusi), sektor industri pengolahan, dan sektor produksi primer. Kendala yang dihadapi adalah secara eksternal prospek ekspor komoditi perkebunan kurang cerah di pasaran dunia (atau mungkin tingkat persaingan kita lemah karena faktor-faktor internal). Salah satu isu dan kritik terhadap faktor internal itu sendiri, sistem perkebunan inti dinilai belum mampu menemukan model kemitraan yang kuat terutama karena manajemen perkebunan umumnya masih mewarisi sistem kolonial. Namun demikian sistem perkebunan inti ini bisa kita catat sebagai model yang prospektif untuk dikembangkan.

Pemerintah juga pernah mencanangkan pola kemitraan ‘bapak-anak angkat”

antara industri besar dan industri kecil. Pola hubungan ini dapat dibagi menjadi “keterkaitan langsung” (direct economic linkages) dalam bentuk “subkontrak”. Pola lain adalah hubungan “keterkaitan tidak langsung” (indirect economic linkages) di mana industri besar membantu industri kecil yang produknya diluar “bisnis utama” (line of business) industri besar. Dalam hal ini berupa hubungan dagang (pemasaran, pengadaan kebutuhan operasional) dan pembinaan (Rustiani dan Maspiyati 1996: 130). Namun mengenai pola hubungan pembinaan, mungkin perlu dikesampingkan secara tersendiri karena inilah mungkin pola hubungan “bapak-anak angkat” yang murni, yang didasari oleh semangat kemitraan yang tinggi.

Model yang kelihatannya applicable untuk diterapkan dalam pengembangan usaha agribisnis adalah yang berpola direct economic linkages atau subkontrak (produksi) dan indirect economic linkages (kontrak perdagangan). Pola hubungan “kontrak perdagangan” tidak terlalu kompleks untuk diterapkan karena hanya merupakan wujud yang lebih formal dari transaksi dagang sepanjang saling ada kebutuhan. Tapi pola hubungan “subkontrak” lebih menarik untuk didalami karena ada unsur “desentralisasi produksi” yang membutuhkan pengorganisasian dan kerjasama teknis.

Ada beberapa definisi tentang subkontrak (lihat Rustiani dan Maspiyati 1996: 12-13):

“Subkontrak adalah keadaan dimana sebuah perusahaan induk, dari pada melakukan pekerjaan sendiri, memesan pada sebuah perusahaan independen lainya untuk melakukan seluruh atau sebagian dari sebuah order yang telah diterima, dengan tetap bertanggung jawab untuk pekerjaan tersebut terhadap sipembeli” (Watanabe, 1972).

“Hubungan subkontrak terdapat di mana sebuah perusahaan (pihak prinsipal) memberi pesanan kepada pihak lain (subkontraktor) untuk menghasilkan bagian-bagian, komponen-komponen, subassemblies atau assemblies untuk diintegrasikan ke dalam suatu produk yang akan dipasarkan oleh pihak prinsipal” (UNIDO, 1974).

Dalam implementasinya, subkontrak bisa dibeda-bedakan menurut jenisnya (Dicken, 1986 di dalam Rutiyani dan Maspiyati, 1996: 14):

Subkontrak Industrial:

Mengerjakan proses-proses tertentu, atau menghasilkan komponen-komponen tertentu (tetapi bukan barang jadi) yang akan diolah lebih lanjut oleh pihak pemesan. Dalam hal ini bisa berupa subkontrak komponen dan subkontrak proses.

Subkontrak Komersial:

Mengerjakan/menghasilkan barang jadi yang tinggal dipasarkan oleh pihak pemesan. Dalam hal ini umumnya pihak prinsipal bukanlah suatu industri manufatur, tapi lebih merupakan perusahaan dagang.

Perlu juga dikemukakan bahwa pengalihan proses produksi melalui hubungan subkontrak ini kenyataannya tidak berhenti dari satu prinsipal kepada satu subkontrak dan dalam satu jenis hubungan subkontrak, melainkan bisa terjadi dalam rangkaian kegiatan yang cukup kompleks. Tingkat-tingkat yang ada dalam sistem subkontrak mempunyai implikasi tertentu pada setiap aktor yang berada pada posisi masing-masing. Artinya, tingkatan subkontrak itu berpengaruh terhadap peluang usaha kecil untuk mengembangkan dirinya (Rustiani dan Maspiyati 1996: 15).

UKURAN KEBERHASILAN HUBUNGAN KEMITRAAN

Kemitraan pada dasarnya adalah suatu konsep kerjasama ekonomi yang menganut paradigma “pertumbuhan dengan pemerataan” (growth with equity) yang berlangsungg secara serempak (simultaneous). Dalam pengertian yang lebih teknis, sejumlah agregat nilai tambah (added values) atau keuntungan (profitability) dari suatu sistem usaha dengan serta merta terdistribusikan secara “proporsional” (adil) kepada unsur-unsur pelakunya pada setiap rantai dan siklus usaha. Ada ukuran atau indikator penting untuk melihat apakah sistem kemitraan tersebut bisa berlangsung (viable) secara ekonomi. Pertama, profit-margin sebagai indikator mikro dan kedua terms of trade sebagai indikator makro.

Profit-margin adalah fungsi dari modal dan produktivitas. Secara logis, kepuasan akan dicapai bila nilai profit-margin memadai dibandingkan dengan pegorbanan (modal dan produktivitas) yang diberikan. Di sisi lain ada harga (price). Harga itu sendiri berbanding lurus dengan profit-margin. Dengan kata lain, semakin tinggi harga akan semakin tinggi profit-margin. Sedangkan kita ketahui bahwa mekanisme penetapan harga kerap kali ditentukan oleh sektor-sektor produksi sekunder dan seterusnya serta sektor perdagangan dan jasa, ketimbang sektor produksi primer. Kita ketahui bersama bahwa posisi tawar-menawar (bergaining position) dari sektor produksi primer umumnya lemah. Karena mereka dihadapkan pada pilihan resiko “menjual pada tingkat harga berapapun atau tidak memperoleh apa-apa” atau ”tidak berproduksi dan tidak memperoleh apa-apa”. Resiko ini tidak mutlak pada sektor-sektor sekunder karena umumnya mereka lebih banyak memiliki alternatif usaha. Karena itu dengan menerapkan asas dan prinsip kemitraan di atas, mekanisme penetapan harga bisa dikendalikan bersama dan nilai tambah dan keuntungan bisa terdistribusi secara “proporsional dan adil” sehingga sistem usaha secara keseluruhan bisa berkembang dan langgeng (sustainable).

Terms of trade dalam hal ini adalah “perbandingan antara harga indeks yang diterima produsen dari kegiatan produksinya dengan harga indeks barang-barang konsumsi yang harus dibayar oleh produsen tersebut”. Terms of trade ini dikatakan baik bila meningkat dari waktu ke waktu atau “proporsional/optimal” antara sektor. Adapun yang dimaksud dengan sektor disini adalah sektor-sektor produksi, perdagangan dan jasa dalam struktur ekonomi maupun sektor industri dan perdagangan secara keseluruhan (lihat Singer 1989).

BUTIR-BUTIR KESIMPULAN

1. Kemauan politik (political will) dari pemerintah untuk mengimplementasikan hubungan kemitraan antara berbagai pelaku dan tingkatan dalam sektor perekonomian Indonesia sesunggunhnya sudah sejak lama dicanangkan.

2. Pasal 33 UUD 1945 sendiri sesungguhnya mengamanatkan bahwa hubungan kemitraan adalah bentuk yang paling ideal dari sistem perekonomian Indonesia.

3. Nilai-nilai kemitraan (cooperative values) itu sendiri telah diyakini secara universal mampu memecahkan berbagai problem ekonomi.

4. hubungan kemitraan akan mampu sekaligus mewujudkan pertumbuhan yang disertai dengan pemerataan (growth with equity) pada berbagai sektor dan tingkatan sehingga bisa merupakan synergy dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan sekaligus membuat keberlangsungan perekonomian lebih langgeng (sustainable).

5. Model-model hubungan kemitraan sesungguhnya sudah mulai dirintis seperti sistem perkebunan inti (-plasma), sistem “bapak-anak” angkat, sistim subkontrak; tinggal diimplementasi dengan menerapkan asas dan prinsip-prinsipnya dan dengan komitmen yang penuh.

REFERENSI

Departemen Penerangan Republik Indonesia (1980) Dekrit Presiden 5 Juli, Undang-undang Dasar 1945, Piagam Jakarta. Jakarta, Simplex

Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, Biro Hukum dan Organisasi (1995). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.

Marcus, L (ICA President) “Cooperative and Basic Values” (Mimeo).

Rustiani, F. dan Maspiyati. (1996) Usaha Rakyat Dalam Pola Desentralisasi Produksi dan Subkontrak. Bandung, Yayasan AKATIGA.

Singer, H.W. (1989) The Relation BetweenDebt Pessures. Adjustmen policies and Deterioration of Terms of Trade for Developing Countries. Institut of Social Studies (ISS) Working Paper, No.59, July 1989.





No comments: